Maasyiral muslimin rahimakumullah
Korupsi yaitu perilaku pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya. Dengan cara
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka, merupakan hal
yang diharamkan dalam Islam, bahkan tergolong dosa besar. Karna hakikat korupsi
adalah mencuri, bahkan dalam skala yang besar.
Firman
Allah SWT s. An nisa’ ayat 29 :
يا يها الذ ين امنوا لا تاء كلوا اموا لكم بينكم با
لبا طل
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil...”
Sedangkan
korupsi adalah memakan harta dengan cara yang paling bathil. Tentu tingkat
keharamannya lebih besar daripada
mencuri. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman s. Al maidah ayat 38 :
وا لسا ر ق والسارقة فا قتعوا ايدهما جزاء بما كسبا نكا لا من الله
والله عزيز حكيم
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Jika mencuri
hukumannya adalah potong tangan, korupsi juga mendapatkan ancaman serupa,
bahkan lebih berat. Ini karna betapa besar
dosanya, yang mereka tidak hanya menzhalimi jutaan rupiah tetapi sampai
miliaran bahkan triliyunan rupiah.
Maasyiral
muslimin rahimakumullah
Sementara
kolusi yang dalam masalah fiqh dikenal dengan nama risywah yaitu pemberian
sesuatu kepada pihak yang berkuasa atas urusan tertentu agar pihak itu memutuskan urusan sesuai
kehendak pemberi suap, menggagalkan kebenaran maupun mewujudkan kebathilan.
Jika ada seorang petugas pajak misalnya datang kepada kita untuk memeriksa
pajak, lalu kita memberikan dia sesuatu agar ia meringankan tagihan pajak kita,
itu termasuk kolusi.
Contoh ini
kaummuslimin tampaknya yang saat ini sangat banyak mencuat kepermukaan. Ada ratusaan mafia pajak yang
bergentanyanngan, mereka menerima suap dari sekian banyak wajib pajak, dan
kasus Gayus Tambunan yang katanya masih kelas teri, Naudzubillahim min dzalik.
Kelas teri saja sudah memakan uang miliaran rupiah, lalu berapa angka yang
dibutuhkan untuk kelas kakap..??
Kasus
seperti ini pernah terjadi pada masa Rasul, walaupun yang dipungut berbeda. Saat itu Rasul
menugaskan Ibnu Luthbiyah salah seorang dari suku azdi untuk menghimpun zakat,
ketika menghadap rasul ia menyerahlan sebagian dari harta itu, dan sebagian
yang lain tidak diserahkan, sambil berkata : “harta ini untuk engkau, dan ini
dihadiahkan buatku”, lalu rasul bersabda :
فهلا جلس فى بىت ايىه او يىت امه فيىنظريىهد ى له ام لا والذى نفس
يىده لاياءخذاحد منه شياء الا جاء به يوم القيمة يخمله ْ عل رقبته , ان كان بعيرا
له رغا ء او شة تيعر
“mengapa kamu tidak duduk dirumah ayahmu atau
ibumu saja, lalu menunggu kamu diberi hadiah atau tidak, demi Dzat yang jiwaku
berada ditanganNya, tidaklah seorang darimu mengambil sedikitpun dari hadiah
itu, kecuali akan dia pikul nanti pada hari kiamat dilehernya, jka hadiah itu
unta, maka dia akan memikul unta yang bersuara, jka hadiah itu sapi, maka dia
akan memikul sapi yang bersuara, jka hadiah itu kambing, maka dia akan memikul
kambing yang mengembik”.
Hukum kolusi
adalah haram ,baik bagi yang menyuap maupun bagi yang disuap, sebagaimana sabda
Rasul, bahwa dia akan melaknat orang yang memberi dan menerima suap :
لعن رسول الله ص م الرشي و المر تشي
“Rasul akan melaknat bagi orang yang menyuap dan menerima suap”.
Jamaah
jum’at yang dirahmati Allah SWT
Kolusi ini
selamanya haram, kecuali untuk mengembalikan hak, inipun bagi yang memberi suap
dikarenakan dengan alasan-alasan yang pasti dan jelas.
Beberapa
dalil yang ditunjukan oleh Ibnu Mas’ud, ketika beliau sedang berada di
habasyah, beliau tidak diperbolehkan lewat padahal beliau berhak lewat dijalan
itu. Ternyata penjaganya minta disuap, maka Ibnu Mas’ud memberi dua dinar
supaya dibolehkan lewat, lalu beliau berkata :
انما الا ثم على القا بض رون الرفع
“Dosanya hanya untuk yang mengambil, bukan
untuk pemberi”.
Dan dalam mengartikan nepotisme, ada dua buah
contoh dari nepotisme itu :
1.
Dalam penerimaan tenaga kerja, seorang pemimpin menerima
pegawainya karna ia adalah keluarga, bukan karna kompetensinya.
2.
Menerima tenaga tersebut hanya karna pesanan atau teman akrabyang
tenaga kerja tersebut tidak memiliki kompetesi pada pekerjaan yang ada.
Dari dua ilustrasi ini dapat kita artikan
bahwa nepotisme itu adalah memilih saudara atau teman akrab dalam sebuah
pekerjaan bukan dari kemampuan tapi karna adanya hubungan khusus antara pelamar
dan penerima kerja.
Nepotisme merupakan bahaya paten yang turun
temurun sejak zaman orde baru, yang mengakibatkan menambah kerja baru bagi
sebuah negara dan akibatnya tidak berkompetennya pegawai yang direktrut.
Bahaya nepotisme adalah bahaya masa depan,
artinya banyaknya pekerjaan yang terbengkalai disebuah instansi disebabkan oleh
karna pekerja tersebut tidak memiliki kemampuan pada posisi yang didudukinya.
Inilah yang telah diwanti-wanti oleh Rasul dalam hadistnya :
اذ وصد الامر الى غير اهلها فنتز ر الشعة
“Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada
lain ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran”.
Dari hadist ini dijelaskan, kalau kita tidak
menginginkan adanya sebuah kehancuran, maka ambillah orang yang ahli dalam
bidangnya, bukan karna ia keluarga kita atau teman kerabat kita.