NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA DALAM KARYA SASTRA BANDINGAN
(Diajukan sebagai UAS mata kuliah Perbandingan Sastra)
Disusun
Oleh:
Irwanto – 1135030125 Jehan Ahmad Tajul –
1135030132
Mervin Blanca –
1135030158 Mia Rahmaningrum -
1135030159
SASTRA
INGGRIS
ADAB
DAN HUMANIORA
UIN
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Sastra
merupakan representasi dari kehidupan masyarakat. Menurut Luxemburg, dkk (1992:
23) sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis
pada suatu kurun tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat
zaman itu. Menurut Sangidu (Endraswara, 2013:115) sastra adalah bagian dari
masyarakat. sifat-sifat masyarakat akan muncul dalam sastra. Sifat atau watak
masyarakat menjadi ilham penting bagi pengarang. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti beberapa karya sastra
tertentu, novel Khotbah Diatas Bukit
karya Kuntowijoyo (1976) dengan novel The
Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald (2014), novel Indian
Camp karya Ernest Hemmingway (1924) dengan cerita pendek Bundle of Letter karya Henry James
(1878), novel Of Mice and Men karya John Steinback (2013) dengan cerita pendek The
Most Dangerous Game karya Richard Connell (1924), dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk sutradara
Sunil Soraya (2013)
dengan film The
Great Gatsby sutradara Baz Luhrmann
(2013).
Novel, cerita pendek, dan
film merupakan bagian dari karya sastra yang banyak mengusung nilai-nilai
sosial budaya. contohnya: dalam novel The
Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald
memunculkan sosial dan budaya yang berada di daerah barat, begitu pun
dengan karya sastra yang terpilih lainnya.
Oleh karena itu,
nilai-nilai
sosial dan budaya dalam
karya terpilih tersebut sangatlah relevan dalam penelitian ini. Nilai-nilai sosial budaya tersebut
dikaji dengan menggunakan metode hermeneutika. Metode hermeneutika sendiri yaitu menafsirkan atau
menginterpretasikan suatu teks, khususnya dalam karya sastra.
2.
Rumusan
Masalah
Untuk
mendapatkan hasil penelitian yang terarah dan terstruktur, maka peneliti memberikan sebuah rumusan masalah pada
penelitian ini, yaitu:
Bagaimana
nilai sosial budaya dalam
karya sastra bandingan lewat teks terpilih?
3.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian
3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah
dipaparkan di atas, maka akan disertakan sebuah tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
“Untuk
mengetahui nilai-nilai sosial budaya dalam karya sastra bandingan lewat teks
terpilih.”
3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan
dapat mencapai tujuan secara optimal dan menghasilkan laporan secara sistematis
dan bermanfaat secara umum. Oleh karena itu ada dua manfaat yang diharapkan oleh peneliti dari
hasil penelitian ini, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
3.2.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan wawasan serta pengetahuan tentang pengaplikasian karya sastra terpilih terhadap tinjauan
sosiologi sastra.
3.2.2
Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini dapat
memperluas wawasan apresiasi pembaca terhadap aspek sosial dan budaya dalam
sebuah karya sastra
dan penelitian ini diharapkan mampu membantu pembaca dalam memahami aspek
sosial dan budaya dalam sebuah
karya sastra.
BAB II
LANDASAN TEORI
Endaswara
(2008: 77) mengungkapkan bahwa sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra
yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang
ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Diperkuat oleh Ratna
(2015: 332) bahwa sosiologi satsra berkembang dengan pesat sejak
penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap
mengalami kemunduran, stagnasi dan bahkan dianggap sebagai involusi. Analisis
strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang justru merupakan
asal usulnya (sastra). Sama seperti yang ditegaskan oleh Elizabeth dan Tom
(Endraswara, 2008: 79) bahwa karya sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah
dan keadaan sosial budaya.
Sosiologi
sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra
sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya,
berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (Endaswara, 2008: 79). Dari
pendapat ini , tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu
mewarnai teks sastra.
Pada
prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (Endaswara, 2008: 79) terdapat
tiga prespektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: 1) Penelitian yang
memandang sastra sebagai dokumen sosial yang didalamnya merupakan refleksi
situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, 2) Penelitian yang mengungkap
sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan 3) penelitian yang
menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial
budaya.
Taine
(Endaswara, 2008: 80) menyatakan yang terpenting dalam penelitian sosiologi
sastra hendaknya mampu mengungkap refleksi tiga hal, yaitu ras, saat (momen), dan lingkungan
(miliu). Senada dengan Taine, Hender (Endaswara: 2008: 80) juga
mengetengahkan teorinya bahwa sastra ditempat tertentu dapat berkembang dan
dilain tempat tidak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh iklim, ras, lanschap,
politik, dan adat istiadat.
Menurut
Endaswara (2008: 80) dalam meneliti sastra yang menggunakan sosiologi
sastra sekurang-kurangnya melalui tiga
perspektif, yaitu:
1. Perspektif
teks sastra, artinya menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat
dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan dijelaskan
makna sosiologisnya.
2. Perspektif
biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektifnya ini akan
berhubungan dengan life history
seorang pengarang dan latar belakang sosialnya.
3. Perspektif
reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks
sastra.
Lain
lagi, Ratna (2015: 338) mengungkapkan model analisis yang dapat dilakukan dalam
pendekatan sosiologi sastra ada tiga, yaitu:
1. Menganalisis
masalah-masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri, kemudian
memnghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut
sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.
2. Sama
dengan diatas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan
aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
3. Menganalisis
karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh
disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan
penelitian karya sastra sebagai gejala kedua.
Dari
beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan sosiologi sastra
adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia, yang memandang sastra
sebagai cermin situasi masyarakat. Dalam penelitian sastra bisa dikatakan ada
tiga perspektif penelitian, yaitu: 1) perspektif teks sastra, 2) perspektif
biografis, dan 3) perspektif reseptif. Dengan mencakup tiga model analisis yang
telah dipaparkan oleh Ratna (2015: 339).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1.
Metode
Penelitian
Pada penelitian ini yang
membahas tentang sosio budaya dalam karya sastra, peneliti menggunakan metode
hermeneutika. Hemeneutika yaitu berasal dari kata hermeneuein (bahasa Yunani) yang berarti menafsirkan atau
mengintepretasikan (Ratna, 2015: 45). Diperjelas oleh Meleong (dalam Ratna,
2015: 45) bahwasanya dalam sastra hermeneutika disejajarkan dengan
interpretasi, pemahaman, verstehen, dan
retroaktif.
Ratna (2015: 46) mengatakan
bahwa Visi sastra modern menyebutkan bahwa dalam karya sastra terkandung
ruang-ruang kosong, ditempat itulah pembaca memberikan penafsirannya. Makin
besar sebuah karya sastra, maka semakin luas ruang-ruang kosong, sehingga
memberikan banyak kesempatan untuk menginterpretasikannya.
Hermeneutika adalah ilmu
tafsir sastra, yang jika dikaitkan dengan teori sosio budaya maka akan terjadi
penafsiran dalam aspek sosio budaya. Aspek sosial tersebut menyangkut berbagai
unsur diluar dan didalam diri manusia (Endaswara dalam Endaswara, 2011: 163).
Menurut Endaswara (2011:
163) hermeneutika menawarkan dua cara untuk memahami makna objek, yaitu (1)
Dialektik antara masa lalu dengan masa kini, dan (2) Antara bagian dengan
keseluruhan. Kedua cara ini membantu penafsir dalam memahami konteks sosial
budaya yang terdapat dalam karya-karya sastra.
Metode hermeneutika sendiri
tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang paling optimal. Dalam
mengiterpretasi (Ratna, 2015: 46) menyampaikan bahwa peneliti mesti memiliki
titik pijak yang jelas, yang pada umumnya dilakukan dengan gerak spiral.
Penafsiran akan terjadi
karena subjek memandang objek melalui paradigm yang berbeda-beda. Keragaman ini
kemudian menimbulkan kekayaan makna dalam kehidupan manusia, menambah kualitas
estetika, etika, dan logika.
2.
Sumber
Data
Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu data-data yang diperoleh dari responden yang diminta
untuk menjawab kuisioner yang telah disediakan. Respondennya yaitu
mahasiswa/mahasiswi semester IV Bahasa Sastra Inggris (BSI) UIN Sunan Gunung
Djati Bandung.
3.
Teknik
Pengumpulan Data
3.1 Observasi
Observasi adalah cara pengumpulan data
dengan cara melakukan pencatatan secara cermat dan sistematik. Observasi harus
dilakukan secara teliti dan sistematis untuk mendapatkan hasil yang bisa
diandalkan, dan peneliti harus mempunyai latar belakang atau pengetahuan yang
lebih luas tentang objek penelitian mempunyai dasar teori dan sikap objektif.
Dalam
penelitian ini, hal utama dalam pengumpulan data yaitu meng-observasi/
mengamati siapa saja dari mahasiswa/mahasiswi semester VI Bahasa Sastra Inggris
(BSI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang layak untuk dijadikan responden.
Kriteria yang layak disini yaitu,
3.1.1
Mahasiswa/mahasiswi
yang sudah membaca ataupun menonton karya sastra yang dijadikan objek
penelitian.
3.1.2
Mahasiswa/mahasiswi
yang sudah memperoleh materi tentang sosial budaya, baik didapatkan dari proses
belajar dikelas ataupun diluar kelas.
3.2 Angket/Kuesioner
Angket atau kuesioner merupakan suatu
teknik pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak langsung bertanya
jawab dengan responden). Instrumen atau alat pengumpulan datanya juga disebut
angket berisi sejumlah pertanyaan-pertanyaan
yang harus dijawab atau direspon oleh responden. Responden mempunyai kebiasaan
untuk memberikan jawaban atau respon sesuai dengan presepsinya.
Angket atau
Kuesioner terdiri dari 4 macam, yaitu kuesioner tertutup, kuesioner terbuka,
kuesioner kombinasi terbuka dan tertutup, dan kuesioner semi terbuka. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner terbuka, yaitu kuesioner yang
tidak ada pilihan jawaban, sehingga responden harus menuangkan jawabannya
sendiri.
4.
Teknik
Analisis Data
Setelah
semua data terkumpul maka dilakukan analisis dengan menggunakan analisis data.
analisis ini dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas. Aktivitas dalam analisis data ini yaitu dengan merangkum,
memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting untuk dicari tema
dan polanya, kemudian data disajikan dalam sebuah pola yang sesuai dengan
kajian, dan setelah itu ditarik sebuah kesimpulan yang menghasilkan sebuah
hipotesis dan deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih
remang-remang atau gelap menjadi jelas.
Dari kuesioner tersebut,
maka ada beberapa tahapan yang dilakukan, yaitu:
4.1 Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas ini
dilakukan untuk meminimalkan gap miss interpretasi dari kuesioner. Karena
kuesioner dibuat oleh peneliti, dan diisi oleh responden. Kuesioner ini harus dapat dipahami dengan baik oleh
para responden.
4.2 Entry Data
Setelah kuesioner
terkumpul tugas peneliti selanjutnya adalah entry data. Entry data yaitu
memindahkan hasil kuesioner yang dari kertas kedalam computer sehingga
berbentuk softfile. Ini akan memudahkan peneliti untuk tahapan selanjutnya.
4.3 Analisis Deskriptif
Pada tahapan
ini, hasil dari kuesioner dilaporkan oleh peneliti dalam bentuk deskriptif.
Peneliti menggambarkan bagaimana dan apapun hasil dari kuesioner yang sesuai
dengan klasifikasi masing-masing.
4.4 Pengujian Hipotesis
Setelah
analisis deskriptif dipaparkan, maka peneliti selanjutnya menyimpulkan serta
memberikan hipotesis terhadap penelitiannya. Hipotesis itu dilakukan untuk
mendapatkan kesimpulan apakah dari kuesioner yang diisi sesuai atau berkaitan
dengan teori sosial budaya dalam penelitian kali ini.
BAB
IV
PEMBAHASAN
A.
Pembahasan I : Irwanto
Dalam
meneliti karya sastra bandingan, yaitu novel Khotbah Di Atas Bukit karya
Kuntowijoyo dengan novel The Great Gatsby
karya F. Scott Fitzgerald, peneliti mengangkat tema nilai sosial budaya dengan
menggunakan teori sosiologi sastra serta melalui pendekatan Heurmenetika.
Berdasarkan landasan teori pada bab II, bahwasanya sosiologi sastra yaitu penelitian
yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan
perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi,
perasaan, dan intuisi. (Endaswara, 2008: 79)
Sementara
itu heurmenetika menurut Endraswara (dalam Endraswara, 2011: 163) adalah ilmu
tafsir sastra, yang jika dikaitkan dengan teori sosio budaya maka akan terjadi
penafsiran dalam aspek sosio budaya. Aspek sosial tersebut menyangkut berbagai
unsur diluar dan didalam diri manusia. Dari pengertian tersebut maka peneliti
menggunakan kuisioner sebagai sumber data pendukung dalam penelitian ini. Yang
menjadi sumber data primer (utama) yaitu kedua novel tersebut.
Adapun
data yang didapat melalui kuisioner yang telah disebar ke lima mahasiswa/i
semester VI sastra inggris UIN Bandung adalah terbagi menjadi tiga kategori:
1. Terkait nilai-nilai budaya yang digambarkan dalam
novel The Great Gatsby karya F, Scott
Fitzgerald;
2. Terkait nilai-nilai budaya yang digambarkan dalam
novel Khotbah Di Atas Bukit karya Kuntowijoyo;
3. Perbandingan nilai-nilai sosial budaya dalam novel The Great Gatsby karya F, Scott
Fitzgerald dengan novel Khotbah Di Atas Bukit karya Kuntowijoyo.
Tiga
kategori diatas akan di paparkan melalui table berikut.
Tabel
1 : Nilai sosial budaya yang digambarkan dalam novel The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald.
Kuisioner
|
Analisis
|
1
|
Menggambarkan kehidupan kota New York
yang begitu glamor dan mewah. Dari sudut pandang tokoh Nick, kehidupan di New
York sangat dipenuhi oleh orang-orang munafik dari pendatang sampai pejabat
bahkan Daisy, sepupu Nick pun demikian. Hubungannya dengan nilai sosial
budaya, bahwa orang-orang yang tinggal di New York terutama Gatsby hanya
mementingkan materi untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan tentang
dirinya.
|
2
|
Pada tahun 20-an memang angat kental
sekali kehidupan mewah di Eropa, kemewahan yang meliputi pesta, foya-foya dan
bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apapun yang dinginkan oleh
orang2 di masa itu seperti para tokoh dalam novel The Great Gatsby. Kehidupan mewah juga telah menutup mata mereka
dari sebuah kesetiaan terhadap pasangan. Hal ini yang menurut saya berdampak
buruk bagi orang2 dimasa itu.
|
3
|
Nilai-nilai
sosial budaya yang digambarkan dalam novel The Great Gatsby
digambarkan lewat tokoh Jay Gatsby seorang lelaki yang menjadi idaman
setiap wanita karena parasnya yang tampan dan kekayaan yang berlimpah. Tidak
seorangpun wanita yang menolaknya kecuali tanpa alasan misalnya wanita yang
sudah bersuami yaitu Daisy. Budaya dalam novel ini menggambarkan bahwa wanita
yang sudah bersuami tidak bisa semena-mena berhubungan dengan lelaki lain
meskipun Daisy sangat mengagumi Gatsby dan mencintainya, dia juga bersikap
berlebihan dan begitu agresif terhadap Gatsby. Meskipun begitu, Daisy tidak
bisa mengambil keputusan yang tegas akan hubungannya dengan Gatsby karena
jika itu terjadi maka bisa disebut dengan penghianatan. Dalam novel The Great Gatsby, kecintaan masyarakat
terhadap modernitas salah satunya tercermin melalui karakter Jay Gatsby. Dia
merupakan cerminan nyata akan masyarakat New York saat itu, dia memiliki loji
yang sangat besar dengan fasilitas yang super lengkap.
|
4
|
The
Great Gatsby menggambarkan bagaimana keadaan sosial dalam
kehidupan orang kaya seperti yang diperlihatkan pada kehidupan Jay Gatsby. Gatsby
menggambarkan bagaimana ia hidup dengan berlimpahan materi dan ia juga
mengadakan pesta yang mewah untuk memperlihatkan kekayaannya itu.
|
5
|
Kehidupan yang dipenuhi gemerlap musik
jazz, pesta, dan dansa. Orang dihormati karena uang. kalangan borjuis yang
mengusung budaya hedonisme, dimana hal ini dibentuk dalam bingkai kapitalis
materialisme. Kebanyakan orang kaya baru dengan bisnis ilegal yaitu
penyelundupan alkohol
|
Tabel
2 : Nilai sosial budaya yang digambarkan dalam novel Khotbah Di Atas Bukit karya
Kuntowijoyo
Kuisioner
|
Analisis
|
1
|
Nilai sosial dalam novel ini, sosok
Barman yang mungkin sudah bosan dengan kehidupan kota dan memilih untuk
menghabiskan sisa hidupnya didesa. Barman yang lebih mencari kebahagian batin
dari pada kebahagian dunia.
|
2
|
Nilai kesederhanaan yg dimiliki barman
demi untuk mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya di masa tuanya. Tokoh Barman
rela meninggalkan dunia hedonisnya untuk memakai hidup sesungguhnya. Kelas
sosial atas yg pernah dinikmatinya rela ia tinggalkan.
|
3
|
Nilai-nilai
sosial budaya yang digambarkan dalam novel Khotbah Di Atas Bukit yang
digambarkan lewat tokoh Barman tua seseorang yang sangat tua dan ingin
mencari ketenangan serta kebahagiaan hidup yang sudah lama hilang sejak
kepergian istrinya. Ia mencari ketenangan di villa yang berada di pegunungan
atas saran Bobi, anaknya. Selain itu pengarang menggambarkan tokoh Barman
sebagai seorang yang kesepian dan membutuhkan perhatian seperti kebutuhan
fisik dan psikis. Kehidupan di kota mempengaruhi kehidupan masa tuanya yang
mulai terasa membosankan. Tokoh Barman digambarkan sebagai lelaki yang mapan
dan banyak pengalaman dalam mengenal wanita pada masa mudanya. Selain itu
yang juga sebagai utama tambahan ialah tokoh Humam, peran tokoh Humam sangat
berpengaruh terhadap kehidupan tokoh utama cerita yaitu Barman menuju
perubahan yang di alami sang tokoh utama. Dapat ditarik kesimpulan tokoh
tambahan utama berpengaruh terhadap plot cerita. Itu semua merupakan gambaran
kehidupan sosial budaya pada saat itu mungkin disebabkan banyaknya masalah
kehidupan yang tidak sesuai dengan harapannya, kemudian mereka mencoba
menawarkan solusi yang ideal.
|
4
|
Dalam Novel Khotbah Di Atas Bukit
memperlihatkan tokoh karakter utama yang mempunyai harta yang cukup, namun ia
ingin hidup jauh dari keadaannya
tersebut dengan pindah ke daerah pinggir kota yang jauh dari keramaian, yang
berbanding terbalik dengan kehidupannya.
|
5
|
Jauh dari kehidupan modern. Adat
kedaerahan Jawa kental. Mengedepankan kaidah sufistik. Tidak ada kesenjangan
status sosial
|
Tabel
3: Perbandingan nilai sosial budaya dalam novel The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald dan Khotbah Di Atas
Bukit karya Kuntowijoyo.
Kuisioner
|
Analisis
|
1
|
Dalam novel The Great Gatsby, sosok Gatsby sangat tergila-gila oleh harta dan
keglamoran. Sedangkan sosok Barman hanya mencari dan menginginkan kebahagian
batin sehingga dia memutuskan untuk bunuh diri.
|
2
|
nilai sosial pada tahun 20-n dan 70-an
sangat terlihat jelas sekali perbedaannya, bahwa pada masa 20-an yg
digambarkan dalam nve great gatsby
memperlihatkn sikap sikap materialistik dan cenderung berfoya-oya dan
tak terlepas dari gaya hedonis sedangkan nilai nilai yang terkandung dalam
novel Khotbah Di Atas Bukit, tokoh Barman rela meninggalkan dunia
kemewahannya demi menemukan arti hidup sesungguhnya dan berubah menjadi hidup
yg sederhana bahkan rela meninggalkan kota dan milih hidup di desa
|
3
|
-
|
4
|
Dapat dilihat dari jawaban sebelumnya,
bahwasanya terdapat perbedaan tokoh tentang memaknai soal materi dan
kekayaan. Di novel Great Gatsby, berusaha untuk menampilkan bahwa orang kaya
mempunyai kekuasaan untuk menikmati kehidupan yang mewah dan hidup bahagia
dengan kekayaannya, sedangkan di novel Khotbah Di Atas Bukit berbanding
terbalik. Yang mana tokohnya berusaha untuk meninggalkan materi dan
kekayaanya untuk mencari kebahagiaan.
|
5
|
Gatsby: Kapitalis materialis,hedonis
Khotbah:
Utilitaris, asketisme
|
1. Nilai sosial budaya dalam novel The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald
Dari tabel. 1 kita bisa memahami bahwa
sosial budaya dalam novel The Great
Gatsby dimunculkan melalui tokoh utama yaitu Jay Gatsby. Jay Gatsby atau
yang lebih akrab dipanggil dengan nama Gatsby ini adalah seorang lelaku yang
memiliki wajah tampan dan harta melimpah serta menjadi idaman disetiap wanita.
Kebiasaan hidup Gatsby yang suka hura-hura, berpesta, mewah, atau yang lebih
sering disebut hedonis ini mampu mempengaruhi masyarakat sekitar lingkungannya.
Tidak hanya masyarakat sekitar, masyarakat seberang pulau pun menjadi
terpengaruh, ini dibuktikan dengan ke-ikutserta-an orang seberang dalam pesta
yang diadakan oleh Gatsby. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Terdengar musik dari
rumah tetanggaku pada malam-malam musim panas. Di taman-taman bernuansa
birunya, para lelaki dan perempuan datang dan pergi bagaikan ngengat-ngengat diantatra
bisikan, sampanye, dan bintang-bintang.” (The Great Gatsby, hal, 61)
“Pada pukul tujuh,
orchestra datang – bukan hanya etrdiri dari lima instrument, tetapi sekelompok
pemain oboe, trombone, saksofon, biola, cornet – terompet kecil, piccolo –
Seruling kecil, drum bernada tinggi dan rendah. Para perenang terakhir telah
kembali dari pantai sekarang dan sedang berpakaian di atas; mobil-mobil dari
New York terparkir lima lapis dilapangan; lorong-lorong, ruang-ruang duduk, dan
beranda-beranda begitu meriah dengan warna-warna primer dan tata rambut gaya
terbaru yang ganjil, serta syal-syal
yang melampaui impian castle.” (The Great Gatsby, hal. 62 – 63)
Kecintaan terhadap modernitas yang
digambarkan melalui karakter Jay Gatsby mencerminkan kehidupan nyata masyarakat
New York saat itu. Glamor, Musik Jazz, Pesta, dan hedonis lainnya. Ini sejalan
dengan teori yang diungkapkan oleh Endraswara (2008: 77) “bahwa sosiologi
sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini
banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin
kehidupan masyarakat.”
Selain budaya hedonis yang diusung dalam
novel ini, kesetian serta penghianatan pun diangkat oleh penulis. Kesetian dan
penghianatan yang juga merupakan budaya fitrah bagi manusia ini selalu menarik
diangkat kedalam karya sastra. Dalam novel ini kesetiaan dan penghianatan di
representasikan dalam tokoh Gatsby dan Daisy.
Diceritakan Gatsby yang mencintai Daisy
seorang wanita yang pernah ia temukan dulu. Namun sayang, Gatsby harus
meninggalkan Daisy untuk berperang. sejak ia pergi meninggalkan Daisy rasa
mencintai itu masih tetap ada dan Gatsby menjaga kesetiaannya. Disisi lain,
ketika Gatsby pergi Daisy memutuskan untuk menikah. Kesetian Gatsby dikhianati.
Tak lama setelah itu, Gatsby kembali
dengan tetap berada dalam kesetiannya. Namun ia kehilangan jejak Daisy. Dengan
mengadakan pesta setiap malam lah ia berharap menemukan Daisy. Ketika bertemu
Daisy, Gatsby mengetahui Daysi sudah menikah. Dan Daisy pun pada awalnya tetap
memilih setia dengan suaminya. Namun lama kelamaan, iya tidak bisa menahan rasa
terhadap Gatsby. Daisy berkhianat, lebih memilih Gatsby. Akhir dari
penghianatan ini adalah tragedy yang terjadi terhadap Gatsby.
Tom langsung menoleh
kepada Daisy
“Kau diam-diam terus
bertemu orang ini selama lima tahun?”
“Tidak bertemu,” ujar
Gatsby. “Tidak, kami tidak bertemu. Tapi, kami sama-sama saling mencintai
selama itu, Teman Lama, dank au tidak tahu. Kadang-kadang aku tertawa –“
tetapi, tak ada tawa dimatanya, “karena berpikir kau tidak tahu.” (The Great
Gatsby, hal. 191)
Dari sekilas cerita diatas, dapat
dilihat bahwa kesetiaan dan penghiatan itu ada. ini merupakan bagian dari
sosial budaya, karena sebuah kebiasaan yang terus berulang. Budaya ini tidak
hanya terjadi di era Gatsby, bahkan selalu terjadi hingga hari ini.
2. Nilai sosial budaya dalam novel Khotbah Di Atas Bukit
Pada tabel 2 yang memaparkan tentang
nilai sosial budaya yang terdapat dalam novel Khotbah Di Atas Bukit, kita bisa
mengambil analisis dari setiap jawaban kuisionernya. Dalam novel ini budaya
yang diangkat yaitu budaya Jawa. Sosial budaya digambarkan dalam dua tokoh
penting, yaitu Barman selaku tokoh utama dan Human sebagai tokoh utama
tambahan.
Barman, dalam masa tuanya menampilkan
budaya yang sangat kental dari Jawa yang elok dan damai. Barman seorang lelaki
yang memiliki banyak harta dan mempunyai pengalaman yang banyak dalam perihal
berhubungan dengan wanita dimasa muda ini lebih memilih menghabiskan waktu
tuanya dengan menyendiri di sebuah bukit. Barman tua mencari jati dirinya yang
sebenarnya. Dia ingin mendapatkan ketenangan dan kenyamanan dalam hidup ini.
Berbeda halnya dengan Human yang sudah
lebih dahulu menemukan jati dirinya. Human hidup sebatang kara di bukit dan
mengandalkan hasil dari alam. Ia lebih dulu merasakan yang namanya ketentraman
dan kedamaian. Pertemuan antara Barman dan Human membawa pengaruh besar pada
diri Barman. Barman terinspirasi dengan Human, mengikuti jejak hidup Human
setelah ia mati.
“Ia ingin berdamai
dengan kabut, rumput, pohonan, gunduk, semak, dan dingin bukit. Berdamai dengan
alam untuk setiap kali mengucapkan selamat.” (Khotbah Di Atas Bukit, hal. 28)
Seperti yang diungkap Endraswara (2008,
79) terkait sosiologi sastra bahwasanya sosiologi sastra itu sendiri merupakan penelitian
yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan
perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi,
perasaan, dan intuisi.
Dari perjalanan Barman yang dipengaruhi
oleh Human dalam pencarian jati diri merupakan bagian dari sosiologi sastra,
yaitu perjuangan umat manusia dalam hal ini Barman untuk menentukan masa
depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi.
Karakter Barman memunculkan sebuah nilai
sosial budaya yaitu ada masanya seseorang akan lelah dengan mengejar kehidupan
dunia sehingga ia ingin memiliki waktu untuk menghilang dari kepekatan dunia,
seperti yang dilakukan Barman dengan tinggal di bukit.
“Lupakan semuanya,
bahkan dirimu. Yang ada ialah pohon-pohon, rumput-rumput. Engkau makhluk yang
paling berbahagia. Waktu ialah untuk dinikmati. Ruang ialah tempat kita
bergerak. Gerak ialah hidup kita.” (Khotbah Di Atas Bukit, hal. 47)
3. Perbandingan nilai sosial budaya dalam novel The Great Gatsby karya F. Scott
Fitzgerald dan novel Khotbah Di Atas Bukit karya Kuntowijoyo.
Dalam membandingkan dua novel ini dari
segi aspek sosial budaya, peneliti merujuk kepada hasil kuisioner yang telah
dibagikan dan juga hasil dari analisis peneliti. Adapun perbandingannya terbagi
kepada dua, yaitu 1) Persamaan, dan 2) Perbedaan.
3.1 Persamaan nilai sosial budaya dalam novel The Great Gatsby karya F. Scott
Fitzgerald dan novel Khotbah Di Atas Bukit karya Kuntowijoyo.
Persamaan
yang tampak dalam kedua novel ini yaitu, nilai sosial budaya digambarkan melalui
karakter tokoh utama, yaitu Gatsby dan Barman. Dari tokoh ini kemudian
muncullah aspek-aspek sosial dan budaya bagi masyarakat sekitar.
3.2 Perbedaan nilai-nilai sosial budaya dari novel The Great Gatsby karya F. Scott
Fitzgerald dan novel Khotbah Di Atas Bukit karya Kuntowijoyo.
3.2.1
The Great Gatsby
Dalam novel
ini menggambarkan sosial dan budaya yang hedonis serta harus mengikuti
modernisasi/trend. Pada awalnya Gatsby hanyalah prajurit biasa yang tiba-tiba
mendapatkan warisan dan menjadi seorang yang kaya.
“Semua anggota keluargaku meninggal, dan aku mewarisi banyak sekali
uang.”
Suaranya sendu, seolah-olah kenangan punahnya seluruh anggota keluarga
secara mendadak masih menghantuinya, sesaat aku curiga bahwa dia mengelabuiku,
tetapi setelah melirik kearahnya aku yakin bahwa emosi yang ditunjukannya
benar.
“Setelah itu, aku hidup bagaikan raja kecil dikota-kota besar, Eropa –
Paris, Venesia, Roma – mengoleksi perhiasan, terutama batu-batu merah delima,
berburu permainan besar, melukis sedikit. Aku hanya melakukan hal-hal yang
menyenangkan bagiku, dan mencoba melupakan peristiwa sangat menyedihkan yang
terjadi padaku dimasa lampau.”
(The Great Gatsby, hal 97 –
98)
Dari sudut
pandang peneliti, Gatsby ini tidak mampu mengendalikan diri atas kekayaan yang
diperoleh sehingga ia pakai kekayaan tersebut untuk berhura-hura, berpesta ria,
dan untuk wanita.
Dari segi
aspek sosial, Gatsby telah gagal memunculkan nilai positif dari sosial ini.
Terlihat dari sikap dia yang menutup diri dengan masyarakat. Sementara itu
aspek budaya berhasil dimunculkan, yaitu budaya hedonis kaum borjuis.
3.2.2
Khotbah
Di Atas Bukit
Berbanding
terbalik dengan The Great Gatsby,
novel ini mengangkat budaya Sufism atau mencari jati diri yang sebenarnya.
Barman yang terbiasa dengan kehidupan mewah dan hedonis nya mampu melunakan
hatinya, yang pada akhirnya ia meninggalkan itu semua demi jati diri yang
sebenarnya.
Tokoh
Barman telah berhasil memunculkan nilai sosial yang positif, yaitu dengan cara
ia bergaul dengan masyarakat pasar yang ada didesa di bukit tersebut.
“Ia ingin kepasar. Apa yang sedang terjadi disana, pada malam bermakna
ini? Berkerumunkah mereka, menawarkan dagangan, menjaga kubis? Sudah tentu
tidak . Ia membayangkan apa yang terjadi dipasar malam itu pada malam hari.” (Khotbah Di Atas Bukit, hal. 99)
Budaya pun
digambarkan dengan apik, yang jika diikuti oleh semua pembaca, maka akan banyak
orang menanggalkan sisi hedonis yang menyelimuti lalu mencari jati diri yang
sebenarnya.
B. Pembahasan
2 : Jehan Ahmad Tajul
Dalam
meneliti karya sastra yang akan diperbandingkan, yaitu cerpen Indian Camp karya Ernest Hemmingway dan A Bundle of Letter karya Henry James ini
peneliti akan memaparkan kajian tentang nilai sosial dan budaya dengan
menggunakan teori sosiologi sastra beserta melalui pendekatan hermeneutika
sebagai metode pendukungnya.
Seperti
yang telah dipaparkan peneliti dalam bab landasan teori bahwasanya sosiologi
sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra
sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya,
berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi (Endaswara, 2008: 79).
Sedangkan
metode yang akan peneliti gunakan sebagai pijakan untuk menganalisisnya adalah
menggunakan metode hermeneutika. Hermeneutika menurut Endraswara (2011:163) adalah
ilmu tafsir sastra, yang jika dikaitkan dengan teori sosio budaya maka akan
terjadi penafsiran dalam aspek sosio budaya. Aspek sosial tersebut menyangkut
berbagai unsur diluar dan didalam diri manusia.
Berdasarkan
pemaparan metodologi yang telah peneliti paparkan, maka peneliti memutuskan
untuk menggunakan kuisioner sebagai sumber data pendukung dalam penelitian ini.
Sedangkan yang menjadi sumber data dari kuisioner tersebut adalah kedua cerpen
yang telah dipaparkan di atas.
Sedangkan
kategori-kategori pertanyaan penelitian ini akan disajikan terhadap 5
mahasiswa/i UIN Sunan Gunung Djati Bandung, jurusan Sastra Inggris semester 6.
Berikut kategori pertanyaan yang telah disajikan tersebut:
1.
Terkait nilai-nilai budaya yang digambarkan
dalam cerpen Indian Camp karya Ernest
Hemmingway;
2.
Terkait nilai-nilai budaya yang
digambarkan dalam cerpen A Bundle of
Letter karya Henry James;
3.
Terkait nilai-nilai sosial budaya dalam
cerpen Indian Camp karya Ernest
Hemmingway dan A Bundle of Letter karya
Henry James.
Berdasarkan
kategori dari pertanyaan yang telah disajikan tersebut, berikut tabel yang akan
memaparkan hasil dari kuisioner yang telah dibagikan terhadap 5 mahasiswa/i UIN
Sunan Gunung Djati Bandung, jurusan Sastra Inggris semester 6:
Tabel
1: Nilai sosial budaya yang digambarkan dalam cerpen Indian Camp karya Ernest Hemmingway
Kuisioner
|
Analisis
|
1
|
Indian
Camp bercerita tentang kehidupan suku Indian di mana
budaya di sana menggambarkan bahwa suami dari seorang wanita suku Indian
bilamana mereka melahirkan akan melakukan hal kesakitan yang sama seperti
yang wanita melahirkan itu lakukan, namun dalam cara yang berbeda. Seperti
yang terlukiskan dalam cerpen ini bahwasanya seorang suami Indian dari wanita
yang melahirkan itu rela untuk memotong tangannya sendiri demi merasakan rasa
sakit yang sama seperti yang suku istrinya lakukan saat melahirkan.
|
2
|
Cerpen ini memberi gambaran bahwa suku
Indian rela melakukan rasa sakit yang sama dengan pasangan hidupnya sekalipun
itu melalui jalan yang ekstrim sekalipun.
|
3
|
Kedekatan seorang anak dan ayah
melalui bercerita panjang lebar dengan mengambil waktu khusus kebersamaan.
|
4
|
Aspek sosial budaya yang dipaparkan dalam
cerpen ini adalah ketika seorang suami dari suku Indian rela untuk memotong
kakinya demi merasakan kesakitan yang sama dengan istrinya yang sedang
melahirkan.
|
5
|
Sosial yang terdapat dalam cerpen ini
adalah ketika seorang dokter yang tentu saja bukan berasal dari suku Indian
rela membantu seorang wanta dari suku Indian yang sedang meminta pertolongan
dalam persalinan. Hal ini seakan mengindikasikan bahwa tidak ada jarak
perbedaan antara berbagai suku di masyarakat sana.
|
Tabel
2: Nilai sosial budaya yang digambarkan dalam cerpen A Bundle of Letter karya Henry James
Kuisioner
|
Analisis
|
1
|
Pada chapter pertama dalam cerpen ini, si pengirim surat memaparkan
tentang nilai sosial budaya di Inggris kepada Ibunya. Dalam cerpennya, ia
mengatakan bahwa nilai dari seorang perempuan yang berada di Inggris berada
pada titik yang paling rendah.
|
2
|
-
|
3
|
Cerpen ini salah satunya mengisahkan
tentang perjalanan seorang feminis, salah satunya menggambarkan keadaan
budaya perempuan Perancis yang memiliki tingkat kelas sosial yang tinggi
sehingga berbeda dengan di Inggris
|
4
|
Aspek sosial dan budaya di cerpen ini adalah
ketika seorang pengirim surat yang mana dia adalah seorang backpacker mendapatkan tempat di
sebuah keluarga seorang Perancis untuk membantunya meningkatkan kemampuan
berbahasa Perancis. Ini membuktikan bahwa bangsa Perancis terbuka untuk
membantu para turis yang hendak akan belajar berbahasa di negara Perancis
tersebut.
|
5
|
Cerpen ini menginformasikan kita
tentang seluk-beluk budaya Perancis.
|
Bab
3: Perbandingan nilai sosial budaya dari cerpen Indian Camp karya Ernest Hemmingway dan A Bundle of Letter karya Henry James
Kuisioner
|
Analisis
|
1
|
Dalam cerpen Indian Camp lebih berfokus pada kearifan lokal suku Indian
sedangkan dalam cerpen A Bundle of
Letter berfokus pada nilai perempuan yang ada di Perancis.
|
2
|
-
|
3
|
Indian
Camp bercerita tentang tata cara berperilaku seorang
Ayah terhadap anaknya sebagai bentuk sosialisasi sedangkan A Bundle of Letter tentang kedudukan
perempuan Perancis.
|
4
|
Cerpen dari Ernest Hemmingway Indian Camp ini lebih berkisah tentang
bagaimana suku Indian setia kepada pasangannya, sedangkan Henry James A Bundle of Letter berkisah tentang
kearifan warga Perancis.
|
5
|
Indian
Camp menggambarkan budaya suku Indian, A Bundle of Letter menggambarkan
budaya masyarakat Perancis.
|
1. Nilai
sosial budaya dalam cerpen Indian Camp karya
Ernest Hemmingway
Berdasarkan
pemaparan yang terdapat pada tabel 1 di atas, peneliti bisa menyebutkan bahwa
aspek sosial budaya yang ada dalam cerpen Indian
Camp ini terdapat pada sosok seorang suku Indian yang rela menerima rasa
sakit yang dialami oleh istrinya yang sedang melahirkan dengan memotong salah
satu dari anggota tubuhnya. Hal ini kemudian akan menjadi adat dari budaya yang
telah ada dalam suku Indian. Kemudian bahwa dalam cerpen ini menggambarkan
kesamaan antara dokter yang bukan merupakan keturunan suku Indian dengan suku
Indian yang menjalin kerjasama antar sesama. Ini mengindikasikan bahwa terdapat
persatuan yang melekat yang ada pada cerpen Indian
Camp ini.
Seperti
pada kutipan berikut yang menggambarkan keadaan suku Indian yang rela melakukan
apapun untuk bisa merasakan apa yang sedang pasangannya alami:
“In
the upper bunk was her husband. He had cut his foot very badly with an axe
three days before. He was smoking a pipe. The room smelled very bad.”
Dalam
kutipan ini terlihat jelas bahwa sang suami dari wanita Indian yang sedang
melahirkan telah memotong kakinya tiga hari sebelumnya. Namun ia begitu tenang
dan sedang menghisap rokok. Ruangan itu pun berbau tidak sedap olehnya. Hal ini
dilakukan oleh sang suami Indian agar ia bisa merasakan apa yang telah
dirasakan selama ini oleh istrinya yang sedang kesakitan karena melahirkan.
“His
throat had been cut from ear to ear. The blood had flowed down into a pool
where his body sagged the bunk. His head rested on his left arm. The open razor
lay, edge up, in the blankets.”
Dalam
kutipan ini juga menggambarkan tentang budaya suku Indian di mana mereka senang
untuk memberi rasa sakit kepada dirinya sendiri atas penderitaan yang telah
dialami oleh pasangannya sendiri. Hal ini seakan telah menjadi identitas dari
budaya suku Indian yang akan melakukan kesakitan yang sama dengan yang telah
pasangannya lakukan.
Dalam
kaitannya dengan teori, hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Taine
(dalam Endraswara, 2008:80) bahwa yang terpenting dalam penelitian sosiologi
sastra hendaknya mampu mengungkap refleksi tiga hal, yaitu ras, saat (momen), dan lingkungan
(miliu). Senada dengan Taine, Hender (Endaswara: 2008: 80) juga
mengetengahkan teorinya bahwa sastra ditempat tertentu dapat berkembang dan
dilain tempat tidak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh iklim, ras, lanschap,
politik, dan adat istiadat.
Oleh
karenanya, cerpen Indian Camp ini
telah mengungkap ketiga aspek yang telah dijelaskan oleh Taine tentang hakikat
sosiologi sastra. Ras, saat (momen), dan
lingkungan (miliu). Bahwa setidaknya
ketiga aspek itu juga akan mempengaruhi pergerakan sosiologi sastra dalam
kaitannya dalam menganalisis karya sastra.
2. Nilai
sosial budaya dalam cerpen A Bundle of
Letter karya Henry James
Menurut
pemaparan dari tabel 2 di atas, bahwasanya cerpen ini dalam kaitannya dengan
aspek sosial budaya adalah memaparkan tentang kajian sosial budaya masyarakat
Perancis melalui narasi yang di buat di dalam sebuah surat. Khususnya terdapat
pada chapter 1 dan 2 di mana seorang backpacker asal Bangor mengirimkan surat
pada ibunya kemudian bercerita tentang kesehariannya di negara Perancis yang
sebelumnya telah berkelana ke tanah Inggris. selanjutnya ia mengemukakan
kedudukan perempuan di Inggris seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:
“The
positions of women does not seem to me at all satisfactory, and that is a
point, you know, on which I feel very stronly. It seems to me that in England
they play a very faded-out part, and those with whom I conversed had a kind of
depressed and humiliated tone;a little dull, tame look, as if they were used to
being snubbed and bullied, which made me want to give them a good shaking.”
Lalu
ia membedakan dengan keadaan perempuan yang ada di masyarakat Perancis, seperti
yang tercermin dalam kutipan berikut:
“....
positions of woman here was considerably higher, though by no means coming up
to the American standard.”
Kearifan
masyarakat Perancis sedikitnya tergambar pada chapter 2 yang salah satunya menyebutkan bahwa akan terdapat
keluarga dari masyarakat Perancis yang membolehkan seorang turis untuk mendiami
rumahnya untuk membantu belajar percakapan bahasa Perancis. Berikut kutipan
yang menggambarkan kearifan masyarakat Perancis:
“She
told me this was a charming family, who had often received American ladies (and
others as well) who wished to follow up the language, and she was sure I should
be delighted with them.”
Dan juga pada chapter ini menggambarkan sifat
individualitas seorang perempuan Perancis namun mereka tetap menikmati
kesendirian itu sendiri, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:
“I
see plenty of other lady alone (mostly French), and they generally seem to be
enjoying themselves as much as I.”
Dari
semua kutipan yang telah dipaparkan ini, dapat dikatakan bahwa cerpen ini
sebagian merupakan dari cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu
ditulis. Hal ini sependapat dengan Endaswara (2008: 77) yang mengungkapkan
bahwa sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kehidupan masyarakat.
3. Perbandingan
nilai sosial budaya dalam cerpen Indian
Camp karya Ernest Hemmingway dan A
Bundle of Letter karya Henry James
Dalam
upaya untuk membandingkan kedua cerpen ini maka peneliti akan membedakan
perbandingan menjadi dua kategori, yaitu persamaan dan perbedaan yang ada di
dalam cerpen ini.
3.1
Persamaan nilai sosial budaya dalam
cerpen Indian Camp karya Ernest Hemmingway
dan A Bundle of Letter karya Henry
James;
Persamaan
yang terdapat dalam cerpen Indian Camp dan
A Bundle of Letter ini adalah kedua
cerpen ini sama-sama menggambarkan keadaan sosial budaya yang ada pada
masing-masing latar. Bila Indian Camp menggambarkan
kondisi sosial budaya suku Indian, maka A
Bundle of Letter menggambarkan kondisi sosial budaya masyarakat Perancis.
3.2 Perbedaan
nilai sosial budaya dalam cerpen Indian
Camp karya Ernest Hemmingway dan A
Bundle of Letter karya Henry James;
Perbedaan
yang terdapat dalam ke dua cerpen ini adalah perbedaan dalam menyajikan kondisi
sosial budaya pada masing-masing cerpen dan juga bila dalam cerpen Indian Camp lebih ke dalam memaparkan
keadaan budaya/adat suku Indian maka dalam A
Bundle of Letter menggambarkan kondisi sosial masyarakat Perancis salah
satunya adalah berbicara tentang kedudukan wanita yang ada di Perancis.
C.
Pembahasan 3 : Mervin Blanca
Dalam penelitian karya sastra bandingan,
yaitu antara novel Of Mice and Men karya John Steinback dengan cerita pendek
The Most Dangerous Game by Richard Connell peneliti mengangkat tema nilai
sosial budaya dengan menggunakan teori sosiologi sastra serta melalui
pendekatan Heurmenetika. Berdasarkan landasan teori pada bab II, bahwasanya
sosiologi sastra yaitu penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena
sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa
depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. (Endaswara, 2008: 79)
Sementara itu heurmenetika menurut
Endraswara (dalam Endraswara, 2011: 163) adalah ilmu tafsir sastra, yang jika
dikaitkan dengan teori sosio budaya maka akan terjadi penafsiran dalam aspek
sosio budaya. Aspek sosial tersebut menyangkut berbagai unsur diluar dan
didalam diri manusia. Dari pengertian tersebut maka peneliti menggunakan
kuisioner sebagai sumber data pendukung dalam penelitian ini. Yang menjadi
sumber data primer (utama) yaitu kedua novel tersebut.
Adapun data yang didapat melalui
kuisioner yang telah disebar ke lima mahasiswa/i semester VI sastra inggris UIN
Bandung adalah terbagi menjadi tiga kategori:
1.
Aspek nilai
budaya dan sosial yang terdapat dalam novel Of
Mice and Men karya John Steinback
2.
Nilai-nilai
budaya yang tergambarkan dari cerita pendek The
Most Dangerous Game by Richard ConnellI
3.
Perbandingan
nilai sosial dan budaya antara novel novel Of
Mice and Men karya John Steinback dengan
cerita pendek The Most Dangerous Game by
Richard ConnellI
Tiga kategori tersebut akan dipaparkan menjadi table
berikut
Table 1: Aspek nilai budaya dan sosial yang terdapat
dalam novel Of Mice and Men karya John Steinback
Kuisoner
|
Analisis
|
1
|
Menggambarkan suatu pedesaan yang
bearda di selatan Solehad, Sungai Salimas, dan sudut pandang tokoh George,
kehidupan disebuah pedesaan ternyata lebih keras dibanding di kota, bahkan
bagi seorang Lennie yang memiliki keterbalakangan mental, mendapatkan suatu
perlakuan tidak adil dalam ranah lingkungan sosial nya, orang-orang enggak
mengobrol dengan Lennie dan memanfaatkan Lennie sebagai pekerja di ladang.
|
2
|
Daerah pedesaan memang sangat kental
dengan pekerjaan di ladang, mengurus hewan ternak, dan lain sebagainya, hidup
serba minimalisir, bahkan orang disana dikatakan kaya jika orang tersebut
yang memiliki ladang tersebut, bagaimana tidak pemilik ladang cukup membayar
pekerja nya dengan sebuah makanan kaleng, yang berisi kacang polong, dalam
Novel nya kehidupan di pedesaan jauh lebih sulit dibanding dengan kehidupan
di kota, sebab George dan Lennie terpaksa kerja dengan dipaksa untuk tidak
kelaparan, juga khawatir akan Lennie dari sudut pandang George bahwa dia tau
Lennie sangat sulit terjun di ranah lingkungan sosial.
|
3
|
Nilai-nilai budaya yang disajikan
dalam Novel Of Mice and Men yaitu nilai budaya kapitalis, dimana pemilik
Ladang tersebut mempekerjakan para pegawai nya dengan seenak nya dan membayar
pegawainya sesuka hati pemilik ladang tersebut, bahkan pemilik ladang tidak
ingin membayar mahal atas apa yang sudah dilakukan oleh pegawainya untuk
mengurus ladang milik nya, juga ada budaya bahwa bos atau pemilik ladang
adalah raja, ini membuktikan di pedesaan seperti itu masih ada budaya yang
seperti itu, budaya dimana seseorang yang memiliki kekuatan atas kendali nya
mampu membuat seseorang menjadi ketergantungan terhadap seseorang yang
memiliki kuasa tersebut.
|
4
|
Novel Of Mice and Men menggambarkan
bagaimana keadaan sosial dalam kehidupan orang pedesaan, yang diperlihatkan
oleh tokoh George dan Lennie, bagaimana mereka berdua hidup dengan
orang-orang sekitar, George yang bisa berbaur dengan orang-orang sesame pekerja
di ladang namun Lennie tidak mampu
berinteraksi dengan orang-orang sekitar karena keterbelakangan mental yang
dimiliki Lennie pada saat itu, orang-orang enggan ingin berbicara dengan
Lennie karena takut dengan orang yang seperti Lennie, di sini membuktikan
bahwa kehidupan di pedesaan memiliki keadaan sosial yang rentang, George yang
hanya bisa bergaul dengan sesame pekerja, sedangkan bos nya tidak ingin
berbaur dengan pegawainya sendiri, terutama Lennie yang tidak bisa
berinteraksi dengan orang lain yang seharus nya dia lakukan juga
|
5
|
Suasana pedesaan selalu memberikan
pemandangan yang indah, sunyi dan tentram, namun di balik semua itu tidak
seindah apa yang kita pikirkan, mereka benar-benar menggantungkan diri mereka
di suatu kebutuhan hidup, rela bekerja keras hanya untuk makan, bahkan sang
pemilik ladang tidak membayar mereka tak lebih dari yang mereka harapkan.
|
Tabel 2: Nilai-nilai budaya yang tergambarkan dari cerita
pendek The Most Dangerous Game by Richard ConnellI
Kuisoner
|
Analisis
|
1
|
Nilai sosial yang terkandung dalam
cerita pendek The Most Dangerous Game yaitu ketika Reinsford mampu memberika
suatu argument terhadap Jendral Zaroff dimana pada saat itu General Zarof
membiarkan hidup Reinsford untuk dijadikan suatu bahan permainan dari General
Zarof sendiri yaitu perburuan manusia, dari situ ada muncul sosial karena
Reinsford melakukan interaksi berupa negoisasi dengan Jendral Zarof, untuk
tidak dibunuh langsung oleh nya, ada nya suatu toleransi dari Jendral Zarof
untuk membiarkan hidup Reinsford, namun tetap saja nilai sosial itu ada
artinya dari sudut pandang jendral Zarof karena bagi dia yang penting adalah
membunuh Reinsford untuk kepuasaan nya sendiri.
|
2
|
Nilai budaya kolonialisme yang
dimiliki Jendral Zaroff sangat kental sekali karena dia memiliki suatu pulau
untuk tujuan lain, yaitu membuat suatu lapangan permainan nya sendiri, berupa
perburuan manusia, karena menurut Zaroff berburu binatang itu sudah terlalu
biasa bahkan tidak ada tantangan nya, dari situlah muncul budaya kolonialisme
yang menjajah seseorang yang terdampar di pulau nya tersebut dengan cara
seperti itu, dibiarkan dulu hidup namun kemudia dia buru hingga mati.
|
3
|
Ada nya unsur budaya berburu yang oleh
Zarof dengan menceritakan bahwa dia pernah membaca buku dari Reinsford,
Reinsford sendiri secara tidak langsung terjun ke dalam dunia perburuan,
karena dia telah membuat suatu buku yang diminati oleh para pemburu, untuk
memburu binatang, disanalah cerpen ini memiliki unsur-unsur budaya berburu
yang sangat kental, karena cerpen ini juga menceritakan bagaimana Reinsford
bertahan hidup dari permainan berburu manusia yang dilakukan oleh Jendral
Zaroff.
|
4
|
Novel ini melibatkan antara seseorang
yang terdampar di pulau tersebut yang tidak memiliki apa-apa dengan seseorang
yang memiliki segala nya termasuk itu pulau itu sendiri, tokoh utama yang
terdampar di pulau itu yang hampir mati namun di tolong oleh penghuni pulau
tersebut, tapi sayang penghuni pulau tersebut ternyata mimiliki niat lain
membiarkan tokoh utama itu hidup.
|
5
|
Jauh dari peradaban orang lain,
membuat Jendral Zarof melakukan kesenjangan sosial bahkan menciptakan budaya
yang buruk, yaitu membuat budaya berburu yang baru, berburu manusia itu
sendiri, kesenjangan sosial yang terjadi yaitu, Jendral Zaroff merasa bahwa dia
adalah tuhan disana, karena dial ah yang mengatur hidup mati nya seseorang di
pulau tersebut.
|
Tabel 3: Perbandingan nilai sosial dan budaya antara novel
novel Of Mice and Men karya John Steinback dengan cerita pendek The Most
Dangerous Game by Richard ConnellI
Kuisoner
|
Analisis
|
1
|
Dalam Novel of Mice and Men hanya
bagaimana menggambarkan dua tokoh utama berjuang untuk hidup bahkan George
yang harus menerima kenyataan harus membunuh kerabatnya sendiri, sedangkan di
cerita pendek The Most Dangerous Game menceritakan seseorang yang
tergila-gila akan suatu perburuan manusia, dan menceritakan bagaimana tokoh
utama Reinsford bisa lolos dari permainan tersebut.
|
2.
|
Nilai sosial dalam kedua karya
tersebut sangat berbeda, dari segi tempat antara pedesaan dengan suatu pulau
tanpa penghuni, memiliki perbedaan yang sangat menarik, di pedesaan kita
masih bisa melihat interaksi antara kaum pekerja dengan bos nya, namun beda
dengan pemilik pulau dengan orang yang terdampar, pemilik pulau seakan menjad
tuhan dari orang-orang yang terdampar, sesuka hati pemilik pulau tersebut
memperlakukan orang itu karena dia menjadi tuhan pada saat itu, menyampingkan
nilai sosual yang ada
|
3
|
Adanya suatu perbedaan tokoh yang
terdapat kedua karya tersebut, tokoh utama dari novel Of Mice and Men dibuat
harus berjuang dalam menghadapi keadaan ekonomi sedangkan tokoh utama The
Most Dangerous game dibuat untuk bertahan hidup dari kekejaman Jendral Zaroff
|
4
|
Terdapat perbedaan budaya dalam kedua
karya tersebut diantara nya perbedaan budaya antara orang pedesaan dengan
seseorang dari kalangan pemburu, namun untuk Jendral Zaroff sendiri dia
adalah memang orang kaya, perbedaan
nya terlatak di budaya pedesaan yang masih kental dengan pekerjaan di ladang
sedangkan budaya perburuan yang tidak jauh dari memburu suatu binatang untuk
suatu kepuasaan tersendiri, namun berbeda bagi Jendral Zaroff yang
menciptakan budaya baru yaitu perburu manusia.
|
5
|
Of Mice and Men: Kapitalism, Budaya
Industri
The Most Dangerous Game: Post/Neo
Colonialism, Culture Studies.
|
1.
Aspek nilai
budaya dan sosial yang terdapat dalam novel Of Mice and Men karya John
Steinback
Dalam table pertama kita bisa memberikan
pandangan terhadap tokoh George dan Lennie bahwa nilai sosial budaya yang
merepa munculkan di suatu daerah pedesaan, ruang lingkup sosial yang bisa
dibilang miris, karena terjadi suatu kelas sosial antara pekerja ladang dengan
pemilik ladang, juga kesenjangan yang dialami oleh Lennie sebagai seseorang
yang menyandang keterbelakangan mental, juga Lennie dimanfaatkan sebagai
pekerja keras karena badannya yang besar, ini menunjukkan adanya kesenjangan
sosial yang diberikan terhadap Lennie bahwa badan besar pekerjaan nya juga
lebih berat, bisa dilihat dari kutipan berikut “Dia bisa kerjakan apa saja yang
Anda perintahkan padanya, jawab George, “Dia mahir gering ternak, Dia bisa
panggul berkarung-karung gandum, gunakan pembajak, Dia sanggup kerjakan apa
pun, Coba saja” Of Mice and Men karya John Steinback (hal 37) kutipan itu membuktikan bahwa ada
nya kesenjangan sosial, seorang Lennie tak sanggup berkata apa-apa, malah
George yang harus mengatakan yang bukan sebenarnya untuk menyelamatkan Lennie
namun resiko nya Lennie dipekerjakan begitu keras, karena ulah George sendiri.
2.
Nilai-nilai
budaya yang tergambarkan dari cerita pendek The Most Dangerous Game by Richard
ConnellI
Dalam cerita pendek The Most Dangerous
Game by Richard ConnellI kita bisa melihat bahwa ada budaya kolonialisme yang
dimiliki Jendral Zaroff sangat kental sekali karena dia memiliki suatu pulau
untuk tujuan lain, yaitu membuat suatu lapangan permainan nya sendiri, berupa
perburuan manusia, karena menurut Zaroff berburu binatang itu sudah terlalu
biasa bahkan tidak ada tantangan nya, dari situlah muncul budaya kolonialisme
yang menjajah seseorang yang terdampar di pulau nya tersebut dengan cara
seperti itu, dibiarkan dulu hidup namun kemudia dia buru hingga mati, dari
kutipan berikut “"My dear
fellow," said the general, "have I not told you I always mean what I
say about hunting? This is really an inspiration. I drink to a foeman worthy of
my steel--at last." The general raised his glass, but Rainsford sat
staring at him. The Most Dangerous Game by Richard ConnellI Hal 14 dari kutipan tersebut kita bisa
membuktikan bahwa Jendral Zaroff benar-benar terinspirasi dari budaya perburuan
dan mengembakannya menjadi suatu perburuan manusia, secara tidak langsung itu
juga berkaitan dengan budaya post colonialime yang mengexsploitasi manusia
sebagai object suatu kepuasaan atau jajahan.
3.
Perbandingan
nilai sosial dan budaya antara novel novel Of Mice and Men karya John Steinback
dengan cerita pendek The Most Dangerous Game by Richard ConnellI
Dalam membandingkan dua karya sastra ini
dari segi aspek sosial dan budaya, peneliti peneliti merujuk kepada hasil
kuisioner yang telah dibagikan dan juga hasil dari analisis peneliti. Adapun
perbandingannya terbagi kepada dua, yaitu 1) Persamaan, dan 2) Perbedaan.
3.1 Persamaan yang terdapat ke dua karya ini dari segi
aspek sosial budaya yang digambarkan oleh kedua tokoh utama, yaitu George dan
Reinsford yang dimana mereka memunculkan nilai-nilai budaya untuk bertahan
hidup, Dari tokoh ini pun berkembang menjadi suatu aspek-aspek budaya bertahan
hidup bagi masyarakat, atau orang lain
3.2 Perbedaan nilai-nilai sosial budaya antara novel Of Mice
and Men karya John Steinbeck dengan cerita pendek The Most Dangerous Game by
Richard ConnellI
Of Mice and
Men
|
The Most
Dangerous Game
|
1. Menggabarkan keadaan sosial dan budaya
disuatu ladang, yang membuktikan bahwa pemilik ladang merupakan bos besar mereka,
mereka harus tunduk dan mematuhi apa yang bos perintahkan, seperti yang
dialami oleh Lennie, dia harus menggangkut gandum dan melakukan banyak
pekerjaan agar mendapatkan uang untuk membeli makanan bersama George
2. Perbedaan kesaraan kelas sosial, dimana
pemilik ladang lebih menduduki tinggkat teratas dalam kelas sosial sedangkan
para pekerja nya dibawah pemilik ladang, sehingga kesenjangan sosial antara
pemilik ladang dengan pekerja nya pun terjadi
3. Budaya pedesaan yang cukup kental di
mana hiburan yang paling menyenangkan adalah pergi ke kota yang tidak jauh
dari ladang, dan menghabiskan uang hasil bekerja, termasuk kedalam budaya
hedon, yang dilakukan oleh George dan Lennie saat mereka pergi ke suatu kota.
|
1.
Adanya budaya
post colonialisme yang dilakukan oleh Jendral Zaroff terhadap orang-orang
yang terdampar di pulau nya dengan menggunakan orang-orang tersebut sebagai
ajang perburuan, dengan kata lain Jendral Zaroff ingin menggunakan manusia
sebagai pengganti binatang yang diburu
2.
Perbedaan yang
terlihat yaitu dalam kelas sosial juga, dimana pemilik pulau Jendral Zaroff
merasa seperti tuhan, dia seakan bisa mengatur hidup mati nya seseorang,
karena dia yang masih bertahan di pulau tersebut sehingga, dalam kelas sosial
pun dia merasa yang paling di atas bahkan dapat mengatur orang-orang yang
terdampar di pulau itu.
3. Ada nya suatu unsur budaya yang
berlandaskan dari colonialisme yang berupa penjajahan terpadap orang-orang
yang terdampar yang dilakukan oleh Jendral Zaroff
|
D. Pembahasan
4 : Mia Rahmaningrum
Tabel
1 : Nilai sosial budaya yang digambarkan dalam film The Great Gatsby sutradara Baz Luhrmann
Kuisioner
|
Analisis
|
1
|
Budaya
di jaman ini sangat memperlihatkan kemewahan kehidupan. Dimana di film ini
mempotret kebiasaan para kaum borjuis yang dimana orang-orang lebih
menuhankan uang. Kehormatan mereka tergantung pada seberapa banyak kemewahan
yang mereka miliki seperti yang di perlihatkan oleh tokoh Gatsby. Dengan
seringnya foya-foya dan pesta-pesta yang terjadi di film ini.
|
2
|
Film
ini mempotret kehidupan kota New York yang begitu glamor dan mewah. Dari
sudut pandang tokoh Nick, kehidupan di New York sangat dipenuhi oleh
orang-orang munafik dari pendatang sampai pejabat bahkan Daisy, sepupu Nick
pun demikian. Hubungannya dengan nilai sosial budaya, bahwa orang-orang yang
tinggal di New York terutama Gatsby hanya mementingkan materi untuk
mendapatkan perhatian dan pengakuan tentang dirinya.
|
3
|
Nilai-nilai sosial budaya yang
digambarkan dalam film The Great Gatsby digambarkan lewat tokoh Jay Gatsby seorang
lelaki yang menjadi idaman setiap wanita karena parasnya yang tampan dan
kekayaan yang berlimpah. Tidak seorangpun wanita yang menolaknya kecuali
tanpa alasan misalnya wanita yang sudah bersuami yaitu Daisy. Budaya dalam
film ini menggambarkan bahwa wanita
yang sudah bersuami tidak bisa semena-mena berhubungan dengan lelaki lain
meskipun Daisy sangat mengagumi Gatsby dan mencintainya, dia juga bersikap
berlebihan dan begitu agresif terhadap Gatsby. Meskipun begitu, Daisy tidak
bisa mengambil keputusan yang tegas akan hubungannya dengan Gatsby karena
jika itu terjadi maka bisa disebut dengan penghianatan. Dalam film The Great Gatsby, kecintaan masyarakat
terhadap modernitas salah satunya tercermin melalui karakter Jay Gatsby. Dia
merupakan cerminan nyata akan masyarakat New York saat itu, dia memiliki loji
yang sangat besar dengan fasilitas yang super lengkap.
|
4
|
The Great Gatsby
adalah film yang menggambarkan bagaimana keadaan sosial dalam kehidupan orang
kaya seperti yang diperlihatkan pada kehidupan Jay Gatsby. Gatsby
menggambarkan bagaimana ia hidup dengan berlimpahan materi dan ia juga
mengadakan pesta yang mewah untuk memperlihatkan kekayaannya itu. Dengan
semua yang dia miliki, para wanita banyak yang jatuh hati padanya bahkan yang
bersuamipun sekalipun, hal itu diperlihatkan oleh tokoh Daisy.
|
5
|
Pada
tahun 20-an memang angat kental sekali kehidupan mewah di Eropa, kemewahan
yang meliputi pesta, foya-foya dan bahkan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan apapun yang dinginkan oleh orang2 di masa itu seperti para tokoh
dalam novel The Great Gatsby.
Kehidupan mewah juga telah menutup mata mereka dari sebuah kesetiaan terhadap
pasangan. Hal ini yang menurut saya berdampak buruk bagi orang2 dimasa itu.
|
Tabel
2 : Nilai sosial budaya yang digambarkan dalam film Tenggelamnya Kapal Vander
Wijck sutradara Sunil Soraya
Kuisioner
|
Analisis
|
1
|
Film
ini sangat memperlihatkan kekentalan suatu adat dan juga derajat kekayaan.
Lewat karakter Datuk yang melarang Hayati untuk berhubungan dengan Zainudin
hanya karena Zainudin berbeda suku dengan keluarga Hayati. Dan karena
Zainudin tidak memiliki banyak kekayaan, sehingga di pandang rendah oleh
keluarga Hayati.
|
2
|
Film
ini memeperlihatkan nilai kesederhanaan walaupun dia berlimpahan harta dan
juga pula nilai perjuangan seorang anak yang ingin memperbaiki hidupnya dan
berpendidikan. Lewat tokoh Zainudin disampaikan bahwa pendidikan itu sangat
penting yang samapai merantau kenegeri sebrang untuk menuntut ilmu agama yang
di Padang telah banyak terdapat sekolah-sekolah agama.
|
3
|
Niali
social dan budaya yang tersaji dalam film ini sangat kental, dari mulai pernikahan
harus sesame suku dan juga harus dari keluarga bangsawan. Seperti Aziz yang
memang keturunan suku Minangkabau seperti halnya keluaga Hayati dan Aziz pula
dari keluarga yang berada, maka keluarga Hayati lebih memilih Aziz disbanding
zainudin yang orang biasa dan tak bersuku. Walaupun ayah Zainudin keturunan
Minangkabau, tapi tetap saja tidak bisa. Karena Adat Minangkabau harus asli
dari sana dan bukan turunan.
|
4
|
Nilai-nilai sosial budaya yang
digambarkan dalam film Tenggelamnya Kapal Vander Wijck yang digambarkan
|
5
|
Nilai
budaya keagamaan juga sangat ditonjolkan dari fil ini. Lewat tokoh
Zainudin dia rela merantau kenegri
yang jauh untuk mempelajari agama. Kemudian mengajarkan kita tentang arti
sebuah kesetiaan dan jangan memendam dendam kepada orang lain, meskipun orang
lain itu menyakiti hati kita. Di bagian film saat Hayati meninggalkan
Zainudin dan menikah dengan Aziz yang dimana Aziz adalah orang yang sering
menghina Zainudin. Namun ketika Aziz terkena musibah meninggalkan serta menitipkannya
Hayati kepada Zainudin, Zainudin tetap menerima mereka dirumahnya. Padahal
mereka adalah dua orang yang sudah membuat hidupnya sangat terluka.
|
Tabel
3: Perbandingan nilai sosial budaya dalam film The Great Gatsby sutradara Baz Luhrmann dan Tenggelamnya Kapal
Vander Wijck sutradara Sunil Soraya
Kuisioner
|
Analisis
|
1
|
Dalam
film The Great Gatsby, tokoh Jay
Gatsby sangat tergila-gila oleh harta dan keglamoran. Sedangkan tokoh
Zainudin lebih religious dan juga sopan, meskipun dia kaya raya tapi dia tidak
hidup dengan foya-foya dan sederhana.
|
2
|
Nilai
sosial pada tahun 20-n dan 70-an sangat terlihat jelas sekali perbedaannya,
bahwa pada masa 20-an yg digambarkan dalam film The Great Gatsby
memperlihatkn sikap sikap materialistik dan cenderung berfoya-foya dan
tak terlepas dari gaya hedonis sedangkan nilai nilai yang terkandung dalam
film Tenggelamnya Kapal Vander Wijck, tokoh
|
3
|
Perbedaan
yang sangat terlihat yaitu budaya percintaannya. Dalam film The Great Gatsby memeperlihatkan
kontak tubuh, sedangkan di fil Tenggelamnya Kapal Vander Wijck tidak ada sama
sekali persentuhan antara dua insan yang saling mencintai. Meskipun mereka
jatuh cinta tapi mereka tidak pernah bercinta./
|
4
|
The Great Gatsby : Kapitalis, hedonis
Tenggelamnya
Kapal Vander Wijck : Kapitalis, Agamis
|
5
|
Gatsby: Kapitalis materialis,hedonis
Khotbah:
Utilitaris, asketisme
|
1. Nilai
ilai social dan budaya dalam film The
Gereat Gatsby sutradara Baz Luhrmann dengan Tenggelamnya Kapal Vander Wijck
Dari table ke- 1 mengetahui nilai
social-budaya dalam kedua film ini yaitu diperlihatkan oleh cara hidup dan kebiasaan yang
lebih mengutamakan kekayaan sebagai patokan kehormatan dan mendapatkan
pengakuan dari lingkungan sekitar. Keadaan masyarakat New York di tahun 20-70
an, yang terbiasa dengan kehidupan hedinis dan glamor.
2.
Nilai social dan budaya dalam film
Tenggelamnya Kapal Vander Wijck sutradara Sunil Soraya
Dari table ke-2 kita dapat memahami
niali sisial dan budanya melalui tokoh Zainudin yang lebih taat pada agama dan
berkripadian yang baik. Keadaan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat
istiatat setempat. Hingga cinta kedua insan Hayati dan zainudin tidak bisa
dipersatukan dalam bahtera rumah tangga karena adat.
3.
Perbandingan nilai social dan budaya
dalam film The Great Gatsby sutradara
Baz Luhrmann dan Tenggelamnya Kapal vander Wijck sutradara Sunil Soraya
3.1 Persamaan
Kedua film ini sama-sama mengankat kisah
tentang dimana kekayaan adalah patokan untuk mendapatkan pengakuan diri . Lewat
kedua tokoh Gatsby dan Zainudin memperlihatkan perjuangan mendapatkan hidup
yang bergelimpahan kekayaan. Percintaan
yang terhalang oleh karena perempuan yang mereka cintai telah dimiliki oleh
pria lain . Dan hidup mereka berakhir karena cinta mereka.
3.2 Perbedaan
Kedua film ini memeiliki perbedaan yang
mencolok dari segi tokoh utama dan kebisaan. Tokoh Jay Gatsby karena dia kaya
maka dia sangat hidup dengan foya-foya dan glamor. Sedangkan Zainudin meskipun
berkecukupan harta namun dia tetap hidup biasa dan dia lebih religious taat
pada Tuhan. Dan dalam percintaanpun tidak ada kontak percintaan yang melibatkan
kedua tubuh. Mereka saling jatuh cinta tapi tidak pernah bercinta.
BAB V
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan oleh setiap peneliti
terkait nilai-nilai sosial budaya dalam karya sastra bandingan, dapatlah
diambil kesimpulan bahwa disetiap karya sastra bandingan terpilih memilikin
unsur nilai-nilai sosial budaya. Nilai sosial budaya di paparkan oleh pengarang
maupun sutradara dalam karya tersebut sesuai dengan nilai sosial dari setting
tempat maupun waktu yang diangkat.
Selain
dari aspek sosial budaya yang melingkupi karya sastra bandingan tersebut juga
dijelaskan aspek persamaan dan perbedaan yang ada di dalam karya sastra bandingan tersebut.
1.
Aspek
Persamaan
1.1
Dalam
novel
The Great Gatsby karya F. Scott
Fitzgerald dan novel Khotbah Di Atas Bukit karya Kuntowijoyo, persamaan yang terdapat adalah sosial dan
budaya sama-sama digambarkan dalam tokoh utama.
1.2
Dalam
novel Indian Camp karya Ernest
Hemmingway dengan cerita pendek Bundle of
Letter karya Henry James, persamaannya yaitu kedua cerpen ini
sama-sama menggambarkan keadaan sosial budaya yang ada pada masing-masing
latar. Bila Indian Camp menggambarkan
kondisi sosial budaya suku Indian, maka A
Bundle of Letter menggambarkan kondisi sosial budaya masyarakat Perancis.
1.3
Dalam novel Of Mice and Men karya John Steinback dengan cerita pendek The
Most Dangerous Game karya Richard Connell, persamaannya
adalah dari segi aspek sosial
budaya yang digambarkan oleh kedua tokoh utama, yaitu George dan Reinsford yang
dimana mereka memunculkan nilai-nilai budaya untuk bertahan hidup.
1.4
Dalam film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk sutradara Sunil Soraya dengan
film The Great Gatsby sutradara Baz Luhrmann
yaitu kisah
tentang dimana kekayaan adalah patokan untuk mendapatkan pengakuan diri.
2.
Aspek
Perbedaan
2.1
Dalam
novel
The Great Gatsby karya F. Scott
Fitzgerald dan novel Khotbah Di Atas Bukit karya Kuntowijoyo, perbedaannya sangatlah jelas yaitu
jika Gatsby memulai hidup hedonis, sementara Barman meninggalkan hidup
hedonisnya dan beralih kepada hidup yang lebih sederhana.
2.2
Dalam
novel Indian Camp karya Ernest
Hemmingway dengan cerita pendek Bundle of
Letter karya Henry James, perbedaannya pun sangat jelas bila
cerpen Indian Camp mengutamakan
kebudayaan/adat yang berlaku di dalam suku Indian, maka berbeda dengan cerpen A Bundle of Letter yang memaparkan
tentang keadaan masyarakat Perancis khususnya kedudukan sosial perempuan di
Perancis pada masa karya sastra itu ditulis.
2.3
Dalam novel Of Mice and Men karya John Steinback dengan cerita pendek The
Most Dangerous Game karya Richard Connell, perbedaan yang disajikan dari kedua karya tersebut
yaitu disajikan secara tidak langsung di mana memunculkan budaya yang hampir
sama namun berbeda dari segi setting dan latar belakang.
2.4
Dalam film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk sutradara Sunil Soraya dengan
film The Great Gatsby sutradara Baz Luhrmann, memiliki
perbedaan yang mencolok dari segi tokoh utama dan kebisaan. Tokoh Jay Gatsby
karena dia kaya maka dia sangat hidup dengan foya-foya dan glamor. Sedangkan
Zainudin meskipun berkecukupan harta namun dia tetap hidup biasa dan dia lebih
religious taat pada Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Endaswara,
Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi
Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: CAPS
Endraswara,
Suwardi. 2013. Prinsip, Falsafah, dan Penerapan Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS
Fitzgerald, F. Scott. 2014. The Great Gatsby. Jakarta: PT. Gramedia
Kuntowijoyo. 1976. Khotbah Di Atas
Bukit. Jakarta: Pustaka Jaya
Luxemburg,
Jan Van, dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2015. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar