Sabtu, 13 Agustus 2016

Bahaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)


Maasyiral muslimin rahimakumullah

Korupsi yaitu perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya. Dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka, merupakan hal yang diharamkan dalam Islam, bahkan tergolong dosa besar. Karna hakikat korupsi adalah mencuri, bahkan dalam skala yang besar.

Firman Allah SWT s. An nisa’ ayat 29 :

يا يها الذ ين امنوا لا تاء كلوا اموا لكم بينكم با لبا طل
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil...”

Sedangkan korupsi adalah memakan harta dengan cara yang paling bathil. Tentu tingkat keharamannya  lebih besar daripada mencuri. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman s. Al maidah ayat 38 :

وا لسا ر ق والسارقة فا قتعوا ايدهما جزاء بما كسبا نكا لا من الله والله عزيز حكيم
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Jika mencuri hukumannya adalah potong tangan, korupsi juga mendapatkan ancaman serupa, bahkan lebih berat. Ini karna betapa besar dosanya, yang mereka tidak hanya menzhalimi jutaan rupiah tetapi sampai miliaran bahkan triliyunan rupiah.

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Sementara kolusi yang dalam masalah fiqh dikenal dengan nama risywah yaitu pemberian sesuatu kepada pihak yang berkuasa atas urusan tertentu  agar pihak itu memutuskan urusan sesuai kehendak pemberi suap, menggagalkan kebenaran maupun mewujudkan kebathilan. Jika ada seorang petugas pajak misalnya datang kepada kita untuk memeriksa pajak, lalu kita memberikan dia sesuatu agar ia meringankan tagihan pajak kita, itu termasuk kolusi.

Contoh ini kaummuslimin tampaknya yang saat ini sangat banyak mencuat  kepermukaan. Ada ratusaan mafia pajak yang bergentanyanngan, mereka menerima suap dari sekian banyak wajib pajak, dan kasus Gayus Tambunan yang katanya masih kelas teri, Naudzubillahim min dzalik. Kelas teri saja sudah memakan uang miliaran rupiah, lalu berapa angka yang dibutuhkan untuk kelas kakap..??

Kasus seperti ini pernah terjadi pada masa Rasul, walaupun  yang dipungut berbeda. Saat itu Rasul menugaskan Ibnu Luthbiyah salah seorang dari suku azdi untuk menghimpun zakat, ketika menghadap rasul ia menyerahlan sebagian dari harta itu, dan sebagian yang lain tidak diserahkan, sambil berkata : “harta ini untuk engkau, dan ini dihadiahkan buatku”, lalu rasul bersabda :

فهلا جلس فى بىت ايىه او يىت امه فيىنظريىهد ى له ام لا والذى نفس يىده لاياءخذاحد منه شياء الا جاء به يوم القيمة يخمله ْ عل رقبته , ان كان بعيرا له رغا ء او شة تيعر

“mengapa kamu tidak duduk dirumah ayahmu atau ibumu saja, lalu menunggu kamu diberi hadiah atau tidak, demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tidaklah seorang darimu mengambil sedikitpun dari hadiah itu, kecuali akan dia pikul nanti pada hari kiamat dilehernya, jka hadiah itu unta, maka dia akan memikul unta yang bersuara, jka hadiah itu sapi, maka dia akan memikul sapi yang bersuara, jka hadiah itu kambing, maka dia akan memikul kambing  yang mengembik”.

Hukum kolusi adalah haram ,baik bagi yang menyuap maupun bagi yang disuap, sebagaimana sabda Rasul, bahwa dia akan melaknat orang yang memberi dan menerima suap :

لعن رسول الله ص م الرشي و المر تشي
“Rasul akan melaknat  bagi orang yang menyuap dan menerima suap”.

Jamaah jum’at yang dirahmati Allah SWT

Kolusi ini selamanya haram, kecuali untuk mengembalikan hak, inipun bagi yang memberi suap dikarenakan dengan alasan-alasan yang pasti dan jelas.

Beberapa dalil yang ditunjukan oleh Ibnu Mas’ud, ketika beliau sedang berada di habasyah, beliau tidak diperbolehkan lewat padahal beliau berhak lewat dijalan itu. Ternyata penjaganya minta disuap, maka Ibnu Mas’ud memberi dua dinar supaya dibolehkan lewat, lalu beliau berkata :

انما الا ثم على القا بض رون الرفع
“Dosanya hanya untuk yang mengambil, bukan untuk pemberi”.

Dan dalam mengartikan nepotisme, ada dua buah contoh dari nepotisme itu :

1.      Dalam penerimaan tenaga kerja, seorang pemimpin menerima pegawainya karna ia adalah keluarga, bukan karna kompetensinya.

2.      Menerima tenaga tersebut hanya karna pesanan atau teman akrabyang tenaga kerja tersebut tidak memiliki kompetesi pada pekerjaan yang ada.

Dari dua ilustrasi ini dapat kita artikan bahwa nepotisme itu adalah memilih saudara atau teman akrab dalam sebuah pekerjaan bukan dari kemampuan tapi karna adanya hubungan khusus antara pelamar dan penerima kerja.

Nepotisme merupakan bahaya paten yang turun temurun sejak zaman orde baru, yang mengakibatkan menambah kerja baru bagi sebuah negara dan akibatnya tidak berkompetennya pegawai yang direktrut.

Bahaya nepotisme adalah bahaya masa depan, artinya banyaknya pekerjaan yang terbengkalai disebuah instansi disebabkan oleh karna pekerja tersebut tidak memiliki kemampuan pada posisi yang didudukinya. Inilah yang telah diwanti-wanti oleh Rasul dalam hadistnya :  

اذ وصد الامر الى غير اهلها فنتز ر الشعة
“Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada lain ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran”.


Dari hadist ini dijelaskan, kalau kita tidak menginginkan adanya sebuah kehancuran, maka ambillah orang yang ahli dalam bidangnya, bukan karna ia keluarga kita atau teman kerabat kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Muncul Lagi

Hai Guys, Assalamualaikum. Kembali berjumpa dengan saya, Uda Ir yang sudah lama tidak pulang-pulang. Kemana dia? Fine, lupakan si ...