Minggu, 22 Mei 2016

Tantangan Dakwah di Negeri Minoritas dalam Film "Aisyah Biarkan Kami Bersaudara"

Tantangan Dakwah di Negeri Minoritas dalam Film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara

Aisyah Biarkan Kami Bersaudara, sebuah film besutan sutradara Herwin Novrianto yang rilis pada hari kamis, 19 Mei 2016 masih kalah pamor dengan film Ada Apa Dengan Cinta yang digawangi oleh Riri Riza yang telah beredar dibioskop sejak 28 April 2016 yang lalu. Film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara ini berkisah tentang seorang perempuan yang sangat ayu, bernama Aisyah (Diperankan oleh Laudya Chyntia Bella) yang berasal dari tanah sunda. Aisyah bercita-cita menjadi seorang guru, dan ketika kesempatan menjadi guru itu datang, ia ditempatkan ke pelosok daerah, yaitu di Dusun Derok, Kabupaten Timur Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi penempatan yang begitu jauh ini membuat ia dan ibunya sedikit mengalami perbedaan pendapat, karena ibunya menolak kalau Aisyah ditempatkan disana. Akan tetapi begitu besarnya niat dan tekadnya, membuat Aisyah memutuskan untuk tetap berangkat ke NTT.
Pertama menginjakan kaki di tanah timur, Aisyah merasa sangat asing. Apalagi setelah sampai di Dusun Derok dia dipanggil oleh kepala suku sebagai Suster Maria, lantaran dia memakai kerudung sama seperti Suster Maria/Bunda Maria. Dusun Derok, dengan penduduk beragama Kristen ini awalnya menginginkan Suster Maria-lah yang menjadi guru, namun Suster Maria dibisa datang karena beberapa hal.
Tempat mengajar yang diperoleh Aisyah memang sangatlah terpencil. Sangat jauh dari kota kecamatan. Tanpa listrik, air bersih yang cukup sulit didapatkan, tidak adanya sinyal seluler, dan lebih lagi sekolah tempat ia mengajar yang jaraknya cukup jauh dari penginapan. Inilah tantangan awal yang harus diterima serta dihadapi oleh Aisyah.
Selain itu, persoalan yang harus Aisyah hadapi adalah kebencian salah satu muridnya yang bernama Lordis Defam. Lordis membenci Aisyah, guru baru tersebut karena Aisyah beragama Islam. Lordis menganggap Aisyah akan menghancurkan mereka, khususnya Agama yang telah mereka anut. Kebencian terhadap Islam yang tertanam dalam hati Lordis lantaran ia di doktrin oleh pamannya tentang pemahaman bahwa Islam itu suka perang, benci terhadap agama lain, dan biang kerusuhan. Pada konflik inilah, judul dari film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara tersebut muncul. Lordis menganggap Aisyah, gurunya yang beragama Islam tersebut akan memisahkan ia dengan semuanya. Kebencian Lordis bisa diatasi oleh Aisyah, meski membutuhkan waktu yang cukup lama.
Tantangan lain yang dihadapi oleh Aisyah yaitu saat di bulan ramadhan ia harus menjalani ibadah puasa tanpa orang tuanya, di Dusun Derok seorang diri. Bulan Ramadhan bertepatan dengan puncaknya musim panas dan minimnya pasok air bersih. Ini menjadi tantangan tersendiri oleh Aisyah. Disaat bulan Ramadhan pun, ia pernah jatuh sakit.
Tantangan demi tantangan, permasalah demi permasalahan Aisyah lewati di Dusun Derok, yang pada akhirnya ia mampu meraih hati warga sana, termasuk Lordis. Sehingga tiba waktunya perpisahan, warga Dusun Derok menangisi kepergian Aisyah dan mereka merasa kehilangan. Warga Dusun Derok banyak terbantu dengan hadirnya Aisyah disana.
Dari film tersebut, yang walaupun pada hakikatnya bertemakan tentang pendidikan, namun hikmah/pelajaran tentang dakwah pun bisa kita ambil. Begitu banyak pelajaran-pelajaran tentang berdakwah dipelosok dari kisah tersebut, diantaranya:
1.       Perkenalkan identitas agama kita.
Ketika berdakwah dipelosok, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan bangga memperkenalkan diri kita sebagai seorang muslim. Perkenalan tentang identitas agama ini tentu menjadi awal perjalanan kita, karena ini akan berhubungan “terutama” dalam perihal makanan.
Ini yang telah dilakukan oleh Aisyah, setelah siuman dari pinsannya. Warga yang bersiap menyambut Aisyah dengan jamuan makan hanya menyediakan makanan dari Babi, yang tentu dalam Islam itu haram. Aisyah memperkenalkan bahwasanya ia seorang muslim, maka hal utama yang dipikirkan oleh kepala sukunya adalah “apa yang akan dimakan oleh Aisyah?” yang akhirnya ditemukan jawaban yaitu makanan hal yang instan, mie instan.
2.      Menyentuh objek dakwah dengan akhlak.
Akhlak yang baik/mulia merupakan hal yang paling vital didalam dakwah. Seseorang akan mudah menerima dakwah yang kita sampaikan, apabila akhlak yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari adalah akhlak yang baik/mulia.
Aisyah memperlihatkan akhlak yang baik tersebut dengan murah senyum kepada siapapun, ceria, dan suka menyapa. Ini bertujuan agar warga melihat hal yang baik dari dirinya, tidak perlu ada yang ditakutkan. Itu pun yang dilakukannya kepada Lordis, murid yang membencinya. Apapun yang lordis lakukan, ia tetap menyayangi Lordis. Terlihat ketika Lordis jatuh dari ketinggian yang mengakibatkan luka parah, dan Aisyahlah yang membawanya ke rumah sakit.
3.      Berikan pengajaran yang baik (Mauizatul Hasanah)
Pengajaran yang baik yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125 merupakan salah satu metode dakwah Rasululllah. Pengajaran yang baik ini, yaitu memberikan teladan, hikmah, kepada mad’u kita (Objek dakwah). Dengan pengajaran yang baik ini objek dakwah akan bisa menerima dakwah yang kita bawa.
Ini pun dilakukan oleh Aisyah. Ia berikan pengajaran yang baik terhadap warga dan murid-muridnya. Ini bisa dilihat di beberapa scene, diantaranya:
3.1    Ketika Aisyah membawa Lordis kerumah sakit, murid-muridnya protes terhadap Aisyah. Namun Aisyah mampu memberikan nasehat untuk senantiasa menolong serta memaafkan siapapun, walaupun ia pernah menyakiti kita. Ini mudah diterima oleh murid-muridnya.
3.2    Aisyah hendak pulang ketika lebaran tetapi gajinya tidak mencukupi untuk membeli tiket pesawat. Masyarakat Dusun Derok mengumpulkan uangnya dan memberikan kepada Aisyah dengan tujuan Aisyah bisa pulang ke pulau Jawa. Dari sini terlihat, bagaimana Dusun Derok telah bisa menerima Aisyah dan menganggapnya sebagai warga Dusun Derok sendiri.
4.      Da’I jangan menjadi beban bagi orang lain tetapi ia harus menjadi peringan untuk orang yang membutuhkan.
Jika seorang da’I menjadi beban maka kehadiran da’i tersebut bisa dipertanyakan. Karena hakikatnya, seorang da’i akan menjadi penyejuk ditengah-tengah ummat, ampu menjadi problem solver, serta menjadi peringan terhadap beban-beban yang dimiliki oleh objek dakwahnya.
Ini bisa dilihat pada banyak bagian dalam film ini, diantaranya:
4.1    Aisyah yang memecahkan persoalan kurangnya pasok air bersih dengan membuat tempat penyaringan air.
4.2    Aisyah yang menolak dengan halus uang yang diberikan warga untuk ia mudik. Prinsip Aisyah adalah lebih baik ia tidak mudik dari pada harus memakan hak-hak warga tersebut.
Itulah pelajaran yang bisa kita serap dalam menghadapi dakwah di Negeri Minoritas. Selain hal diatas, yang terpenting ketika berdakwah di negeri minoritas adalah kesungguh-sungguhan dan niat yang lurus, yaitu beribadah mencari ridho Allah. Ketika niat kita sudah untuk Allah, maka Allah akan memudahkan segalanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Muncul Lagi

Hai Guys, Assalamualaikum. Kembali berjumpa dengan saya, Uda Ir yang sudah lama tidak pulang-pulang. Kemana dia? Fine, lupakan si ...