Mencari Hati Yang
Baru
by. Irwanto
“Aku
sudah mulai bosan dengan aktifitas yang itu-itu saja. Ingin mencari suasana
yang baru.” Itulah alasan yang selalu diungkap Hasan ketika teman-teman
seperjuangannya datang ke kostan dan menanyakan ketidakhadirannya disetiap
agenda.
Setidaknya
sudah lebih satu bulan Hasan tidak pernah lagi muncul di setiap agenda dakwah
yang ada di Lembaga Dakwah Kampus nya. Jangankan untuk agenda dakwah, kumpulan rutin
pun bersama kelompoknya atau yang lebih familiar dengan sebutan Liqo’ tak
pernah lagi ia jambangi. Hal itu lah yang membuat teman-teman satu lingkarannya
mendatangi kostannya.
Tentu
saja kemundurannya Hasan menjadi pertanyaan besar dalam organisasi tersebut. Hasan
yang dulunya sangat bersemangat, kritis, dan setiap hari selalu berada di base-camp dakwah, sebulan ini sudah tak
tampak lagi batang hidungnya. Kalau pun bertemu dengan teman se-organisasinya,
itu hanya di masjid kampus, ketika Hasan mau sholat berjamaah. Dan bahkan
sekarang, Hasan tiada lagi berada di barisan terdepan dan berdampingan dengan
saudara-saudara diorganisasinya dalam sholat berjamaah. Hasan lebih memilih
menjauh dari shaf yang biasa ia tempati tersebut.
Disuatu
sore, tiba-tiba beberapa orang temannya menjambangi kostan Hasan, mau minta
penjelasan yang pasti kenapa Hasan menjadi seperti ini. “Hasan, antum[1]
tahu dengan artinya amanah kan?” Tanya Lee seorang mualaf keturunan china.
Sore
itu Hasan tidak mampu banyak bicara, ia lebih banyak mendengar dan menunduk. Ia
bak seorang anak kecil yang disangka mengambil mangga tetangga. Ia sedang di
introgasi oleh teman-temannya.
“San,
coba lihat sini, dan sekali lagi jawab ya, kenapa antum jadi seperti begini?
Apakah ada masalah diantara kita, atau dengan keluarga atau perkuliahan antum?”
Lee kembali bertanya.
Dalam
keadaan masih menunduk, Hasan kembali menjawab pertanyaan itu dengan kata yang
sama, “Aku sudah mulai bosan dengan aktifitas yang itu-itu saja. Ingin mencari
suasana yang baru. Itu saja.” Hasan tahu, kata-katanya penuh dengan kebohongan.
Ia sendiri tak mampu membohongi hati kecil nya. Iya, ia begini karena ada
beberapa masalah yang saat ini sedang di hadapinya.
Ia
tak mampu menjawab pertanyaan tulus dari Lee dihadapan yang lain. Karena ia
belum bisa percaya penuh terhadap dua temannya lagi yang sore itu ikut menemani
Lee. Hasan hanya bisa percaya kepada Lee, bukan kepada Arif ataupun Fahri,
ketua umum LDK tersebut. Dan Hasan pun tau, keikut-sertaan mereka berdua – Arif
dan Fahri – kekostannya sore ini hanya sekedar formalitas belaka. Untuk
menggugurkan kewajiban mereka.
Alhasil,
kedatangan mereka di sore itu tak membuahkan apa-apa. Mereka yang datang untuk
membujuk pun tak mampu mengajak Hasan untuk kembali aktif dilingkaran itu.
Adzan magrib menyudahi silaturahmi mereka. Hasan dan yang lainnya pun keluar
untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah di masjid terdekat.
***
Jam
menunjukan pukul 02.30 pagi, alarm pun berbunyi untuk membangunkan Hasan
tahajjud, menghambakan diri kepada-Nya. Dengan mata yang masih mengantuk, Hasan
berusaha bangun, dan mematikan bunyi alarm yang sedari tadi tak berhenti
berdering. Ketika mematikan alarm, tak sengaja ia melihat ada sebuah sms dari
Ust. Rahmat, Murobbi[2] Hasan.
“Assalamualaikum akhi[3],
bagaimana kabar antum sekarang? Sudah lama kita tidak bertemu. Besok antum ada
waktu, akh? Ana pengen ngajak antum jalan kesuatu tempat. Kita ketemuan di
masjid kampus jam 09.00 WIB ya. Ana
Uhibbuka Fillah[4].”
Pesan
itu membuat Hasan termangu dalam waktu yang panjang. Hasan tahu Ustad Rahmat
mengajak ketemuan pasti untuk menanyakan dirinya juga. Seperti yang dilakukan oleh
teman-temannya. Dengan gugup Hasan membalas pesan singkat murobbinya dengan
mengatakan “iya, Ustad.”
Hasan
bangkit dari kasurnya menuju kamar mandi. Ia berwudhu’ dan melakukan sholat
tahajjud. Dengan penuh kekhusyu’an Hasan pun berbicara dengan sang penguasa
alam. Begitu banyak keluh kesah yang ia sampaikan, termasuk problem yang sedang dia hadapi pun
dicurahkan.
“Yaa muqallibul quluub, tsabbit qalbii ‘ala
diinik. Wahai yang maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama
Mu.”
Berulang-ulang
Hasan melafalkan do’a tersebut dalam tahajjudnya. Tak terasa air matanya pun
meleleh. Ia memasrahkan apapun yang terjadi kepada Ilahi, Pemilik Hati. Dia
berserah diri dan terus berdo’a agar Allah memberikan jalan yang terbaik untuk permasalahannya.
Diakhir
tahajjud, Hasan kembali sujud keharibaan-Nya. Begitu lama sujud yang ia
lakukan. Dan isak tangis pun kembali terdengar. Jika Hasan bisa, ia tidak akan
mau waktu cepat menjadi pagi. Ia hanya ingin waktu tetap berada disepertiga
malam, agar ia punya banyak waktu berduaan dengan yang dicintanya. Allah SWT.
“Ya
Allah, yang maha mengendalikan kehidupan manusia. Mudahkanlah kendali terhadap
hidup ku. Aku masih mengharapkan bersama saudara-saudara ku berjuang dijalan
dakwah ini, Ya Allah. Untuk itu kumohon, turunkan hidayah dan taufik Mu kepada
ku, agar aku mampu dan selalu tegar menjalani setiap ujian demi ujian di jalan
dakwah Mu ini.”
***
“Assalamualaikum. Maaf Ustad, ana[5]
telat. Tadi ana harus ngumpulin air dulu buat mandi.” Kata Hasan ketika sampai
didekat Ustad Rahmat yang sedari tadi menunggunya. Wajar jika Hasan meminta
maaf, karena ia telah membuat Ustadnya menunggu selama 45 menit. Sekarang sudah
jam 09.45 WIB.
“Waalaikumsalam.
Oiya, tidak apa-apa akhi. Ayo kita berangkat sekarang.” Ajak Ustad Rahmat
sambil berjalan menuju mobilnya.
Setelah
naik, Ustad Rahmat membawa mobilnya ke arah kota. Dalam perjalanannya Ustad
hanya bicara sedikit. Mungkin ia sedang mengatur ritme untuk menanyakan perihal
ketidak-aktifan aku. Duga Hasan saat itu.
“Hasan,”
sapa Ustad membuyarkan lamunan ku. “Antum tahu, seorang ulama di Mesir yang
sampai saat ini begitu menginspirasi bagi ana? Setelah Nabi Muhammad tentunya.”
Tanya Ustad kepada Hasan.
“Siapa,
Ustad? Apakah Syeikh Sayyid Qutubh, atau Syeikh Ahmad Al-sakri atau siapa Ustad.
Begitu banyak ulama di Mesir yang sangat menginspirasi Ustad.”
“Iya,
begitu banyak ulama di Mesir, dan semuanya sangat menginspirasi. Namun, ada
satu ulama yang paling menginspirasi ana dalam jalan dakwah ini, akhi. Antum
tahu pendiri Ikhwanul Muslimin?”
“Hasan
Al Banna, Ustad” jawab Hasan dengan singkat.
“Iya,
Syeikh Syahhid Hasan Al Banna.” Jawab Ustad dengan penuh semangat. “Antum sudah
baca biografi beliau?” Tanya Ustad lagi.
“Baru
sedikit, Ustad.” Jawab ku.
“Baik,
coba antum ceritakan tentang Syeikh Syahhid Hasan Al Banna, semampunya aja.”
Kata Ustad.
“Iya,
boleh Ustad.”
***
Pagi
itu pada tahun 1906, disebuah desa kecil, desa Al Mahmudiah yang terletak di
provinsi Buhairah, Mesir lahirlah seorang anak dari keluarga pengarang dan
ulama Al Sunnah Al Muthaharrah. Anak itu diberi nama Hasan Al Banna. Selain
mengarang, ayah Hasan yang bernama Syaikh Abdurrahman juga bekerja sebagai
tukang arloji, sehingga ayah Hasan kerap dipanggil As-Sa’ati atau si tukang arloji.
Hasan
Al Banna terlahir dari keluarga yang berkecukupan, serta keluarga yang dikenal
sebagai keluarga yang shaleh. Didalam rumahnya terdapat perpustakaan yang cukup
lengkap. Ia dibebaskan oleh ayahnya membaca buku apapun diperpustakaan
tersebut. Selain itu, ayahnya juga menjalankan kewajibannya sebagai orang tua
yaitu membimbing Hasan dalam beragama. Hasan diajarkan sholat, membaca
alqur’an, dan bahkan Hasan secara langsung dibimbing oleh ayahnya untuk
menghafal alqur’an.
Hasan
kecil disekolahkan oleh ayahnya pada sebuah sekolah dasar agama, Madrasah
Ar-Rasyad. Disekolah ia selalu menjadi yang terbaik. Hasan anak yang pintar,
itu semua berkat didikan yang diberikan sang ayah untuknya sedari ia masih
bayi.
Setelah
dari sekolah dasar agama di Madrasah Ar-Rasyad, Hasan pun melanjutkan
pendidikannya pada salah satu SLTP yang ada di kota Mahmudiah. Ketika SLTP, ia
menjadi anak yang super aktif. Hasan mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi
nama Jam’iyyatul Akhlaqil Adabiyyah yang
kemudian berubah nama menjadi Jam’iyyat
Manil Muharramat dengan arti Perkumpulan mencegah perbuatan-perbuatan
haram.
Perkumpulan
ini Hasan dirikan, karena ketika SLTP ia sudah mulai tertarik dengan cara kerja
yang teratur dalam bidang keislaman, yang berhubungan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Cara-cara
dakwah beliau ini sangat menarik dan kreatif. Walau terbilang masih muda tetapi
ia berani dalam menerapkan system dakwah yang ia buat. Salah satunya menerapkan
tata tertib dalam bentuk denda-denda kepada siswa yang mengucapkan kata-kata
kotor atau yang menyalahi agama.
Dalam
waktu yang sangat singkat, teman-teman beliau di SLTP mempercayakan ia menjadi
pemimpin dalam organisasi kecil yang ia buat. Jam’iyyat Manil Muharramat. Perkumpulan mencegah
perbuatan-perbuatan haram.
***
Lampu
merah dijalan ini memang cukup lama, sekitar 5 menit sekali menyala. Namun,
lampu hijau hanya menyala sebentar, tiga menit. Lima menit ini dimanfaatkan Ustad
untuk meregangkan badannya sekaligus untuk minum. Diluar sana banyak pedagang
asong yang memanfaatkan lampu merah, dengan menjajakan jajanannya.
“Masya
allah, antum sepertinya sudah sangat mengenal Syaikh Syahid Hasan Al Banna,
akhi.” Ujar Ustad Rahmat sambil mereguk minumannya. “Antum mau minum?”
sekaligus tawar Ustad.
“Baru
baca biografinya sampai ia SLTP Ustad, setelah itu ana belum tahu lagi
bagaimana dewasanya Hasan Al Banna.” jawab Hasan sambil menggelengkan kepala.
Hasan
melirik jam ditangannya.
“Udah
jam 10.20 Ustad, sebentar lagi jumatan. Kalau boleh tahu kita mau kemana ya Ustad?”
“Sekarang
kita mau ke masjid yang ada di pusat kota dulu. Kalau gak salah jumatan ini
yang khutbahnya kyai dari Jombang, Jawa Timur.” Jawab Ustad Rahmat.
“Oh
iya Ustad boleh.”
Perlahan
mobil kembali melaju, dengan tujuan yaitu Masjid Agung yang ada dikota.
“Akhi,
masih adakah bagian yang belum antum ceritakan tentang Syeikh Syahid Hasan Al
Banna?” kata Ustad.
Dengan
memenjamkan mata sambil berfikir Hasan pun mencoba mengingat sejarah tentang Hasan
Al Banna yang sudah ia baca tapi belum diceritakan.
“Oh,
ada Ustad.”
Ketika
masih SLTP, yang sejatinya pendidikan yang masih sangat rendah, dan
masa-masanya bermain, Hasan Al Banna memilih menyibukan diri dengan menuntut
ilmu agama. Hasan mulai rajin menghadiri setiap majelis, salah satunya majelis
zikir.
Majelis
zikir yang sering dihadiri oleh Hasan sang remaja tanggung ini yaitu majelis
zikir yang diadakan oleh Ikhwah
Al-Hasafiyyah. Majelis zikir perkumpulan orang-orang sufi. Disini Hasan
merasakan kedamaian yang berbeda, jiwanya hanyut dalam zikrullah wa zikrumaut (Mengingat Allah dan mengingat mati). Jiwa Hasan
selalu luluh jika berada dalam majelis zikir ini.
Tidak
hanya mendapatkan ketenangan hati disini. Hasan pun memperoleh teman-teman baru
yang memiliki wajah sendu. Wajah yang ketika melihatnya, seakan melihat syurga.
Penuh kenyamanan. Teman-teman yang ahli zikir ini pun ternyata seorang yang
militan, salah satunya Ahmad As-sakri, yang disatu episode akan menemani Hasan
Al Banna dalam Ikhwanul Muslimin dan menjalankan peran yang sangat penting
didalamnya.
Saat
di SLTP atau sekitar umur 13 Tahun pun Hasan Al Banna telah menyaksikan
pemberontakan-pemberontakan di Mesir terhadap Inggris yang dipimpin oleh
Nasionalis-nasionalis di Mesir. Waktu itu, Hasan berkeyakinan bahwa mengabdi
kepada Negara adalah Jihad yang difardhukan.
Pada
tahun 1922, Hasan beranjak remaja. Berumur 16 Tahun, beliau diterima
diperkumpulan Jama’at al-Safiyyah, yang sebelumnya bernama Al-Ikhwan
Al-Safiyyah. Diperkumpulan ini pemikiran Hasan Al Banna sangat berpengaruh pada
ajaran Al-Ghozali, sebab perkumpulan ini merupakan jamaah yang lebih condong ke
arah sufi. Yang memiliki dua tujuan utama, yaitu berjuang untuk memelihara
prinsip-prinsip akhlak islam dan menentang dakwah Kristen di Bandar Kahira.
Tidak
lama setelah itu, Hasan Al Banna lulus dari SLTP di kota Mahmudiah dan
melanjutkan pendidikan di Universitas Darul Ulum, Kairo. Ia menjadi remaja yang
makin hebat. Ia lulus pada tahun 1927, dengan menyadang predikat cumlaude.
Beberapa bulan setelah kelulusan nya, pada September 1927, Hasan yang sudah
menjadi pemuda gagah ini diangkat menjadi guru SD di kota Islamiah yang
terletak di Terusan Suez.
“Insyaallah,
sudah cukup Ustad. Dari ana kisah Hasan Al Banna.” Kata Hasan mengakhiri
ceritanya.
“Allahuakbar…!!!”
pekik Ustad Rahmat. “Hasan Al Banna, seorang pemuda yang luar biasa. Pecinta
ilmu. Semangatnya selalu tinggi.” Lanjut Ustad Rahmat.
“Lalu
bagaimana dengan Hasan yang berada disamping ana ini?” Tanya Ustad sambil
tersenyum.
Hasan
hanya terdiam begitu saja, ia tahu maksud Ustad. Ustad Rahmat menyindirnya.
Namun Hasan mencoba tersenyum.
“Ayo,
bersiap-siap untuk turun.” Kata Ustad Rahmat ketika mobil telah memasuki
basement.
“Iya
Ustad.”
***
Usai
sholat jumat, Hasan dan Ustad Rahmat makan siang disalah satu warung yang
berada di kantin masjid. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya.
Jalanan
siang itu sangat macet. Mobil hanya bisa berjalan dengan sangat perlahan.
Padahal ini jam 14.00 Wib. Jam kerja. Tapi kemacetan terjadi. Apakah kota ini
akan menyamai Ibu Kota dalam hal kemacetan? Tidak tentu pagi, siang, ataupun
sore. Macet selalu melanda ibu kota.
Didalam
mobil yang ber-AC, Hasan lebih banyak diam. Hanya berbicara jika ditanya oleh Ustad
Rahmat. Matanya seringkali tertuju kepada satu arah, keluar jendela mobil.
Tidak berkedip. Ini bukanlah Hasan yang biasa dikenal oleh Ustad Rahmat. Hasan
yang dikenal oleh Ustad sangatlah periang, cerewet, dan penuh semangat.
Ustad
menduga kalau Hasan lagi ada masalah. Tidak seperti biasanya. Batin Ustad.
Dengan bijak, Ustad tidak akan menanyakan langsung masalah apa yang sedang
dihadapi oleh Hasan. Tapi dengan perlahan. Karena tampak, Hasan sangat tertutup
untuk masalah ini.
“Ustad,
sebenarnya kita mau kemana stad?” suara Hasan memecahkan keheningan yang
terjadi didalam mobil.
“Antum
inginnya kemana?” Tanya balik dari Ustad.
“Loh,
kok nanya balik Ustad. Kan, Ustad
yang ngajak.” Jawab Hasan sambil tersenyum.
“Yaudah,
hari ini kita keliling kota saja. Ya walaupun macet setidaknya kita masih punya
banyak waktu untuk hari ini.”
“Iya,
baik Ustad.”
Setelah
percakapan tentang tujuan mereka, Hasan kembali larut dalam diamnya. Dia tidak
tau, apa yang harus di obrolkan bersama Ustad Rahmat. Mau ngobrol tentang
dakwah, ia tidak bersemangat. Membicarakan tentang organisasi? Ia kan sudah
sebulan tidak ada. Tentang olahraga? Hasan hanya suka jogging. Cuma itu. Tidak
ada pembaHasan yang menarik tentang jogging. Lalu apa? Ia lebih banyak
memperhatikan pedagang asongan yang hilir mudik menawarkan dagangannya ditengah
kemacetan.
“Akhi,
tau sejarah, latar belakang berdirinya Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh Hasan
Al Banna?” Tanya Ustad.
“Tidak,
Ustad.”
“baiklah,
ana ceritakan sedikit tentang sejarah latar belakang berdirinya Ikhwanul
Muslimin.”
Ikhwanul
Muslimin (Yang disingkat IM), atau dalam bahasa Indonesia berarti Saudara
–saudara sesama muslim. IM merupakan organisasi Islam yang didirikan langsung
oleh Hasan Al Banna pada bulan Maret 1928 di Mesir, atau lebih tepatnya di kota
Islamiyah.
Gerakan
dakwah IM ini bertujuan untuk mengembalikan umat islam pada pemahaman dan
amaliah yang benar terhadap Islam. Seperti yang kita ketahui, situasi Mesir
pada waktu berdirinya IM sangatlah menyedihkan. Waktu itu, kira-kira setelah
empat sampai lima tahun keruntuhan khilafah Imperium Turki Utsmani.
Inggris
sangat berkuasa. Inggris merebut Negara-negara Islam sehingga pecah
berkeping-keping. Kekhilafahan di Turki sebagai manifestasi tertinggi
masyarakat dibawah nauangan panji-panji aqidah islamiyah hancur berantakan. Tak tersisa. Kebiasaan barat atau
asing mulai menguasai kehidupan orang islam, terutama para pelajar.
Ustad
Rahmat membelokan mobilnya di pom bensin, dan setelah mengisi bensin Ia tidak
langsung melanjutkan perjalanan, namun istirahat sejenak untuk melanjutkan
ceritanya.
“Banyak
sekali kebiasaan barat yang mempengaruhi umat Islam", kata Ustad Rahmat
sambil mengusap matanya.
Sendi-sendi
Islam yang murni perlahan mulai luntur. Pemahaman-pemahaman yang lurus berganti
menjadi pemahaman yang liberal dan sekuler. Semua penyimpangan dan kebathilan
yang terjadi mereka susun secara terencana dan terorganisasi untuk ditularkan,
baik dengan cara paksa kepada kehidupan umat islam diseluruh dunia.
Negara
Mesir yang berada dibawah penjajahan Inggris banyak mengirimkan pemuda-pemuda Islam
untuk menuntut ilmu di Barat, baik teknologi, sosial, bahkan mempelajari Islam
itu sendiri. Mereka yang menuntut ilmu ini kemudian lahir menjadi
pemimpin-pemimpin Mesir yang sekuler dimasa kemerdekaan.
Sebelum
gerakan IM lahir, Khalifah masih dianggap tinggi dalam Islam yang mempunyai
peranan untuk menyatukan negara-negara Islam diseluruh dunia. Gema Pan Islam
dari dunia Arab waktu itu cukup besar di Mesir dan menimbulkan goncangan
politik. Masyarakat banyak yang protes terhadap pembekuan politik ini,
kejatuhan moral para penguasa.
“Jadi,
Inggris waktu itu benar-benar menguasai Mesir, Ustad?” Tanya Hasan dengan penuh
antusias
“Iya,
sejak tahun 1880 Inggris menduduki Mesir, ketika itu Mesir telah memiliki
sejumlah sekolah modern dan lebih dari 5000 sekolah tradisional. Pada tahun
1883, inggris pun mewajibkan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar
disekolahan. Mulai dari sekolah dasar.
Sistem
pendidikan seluruhnya diserahkan pada missionaris katolik Romawi, Pebyistarian
dan Angikar. Mereka mempunyai daerah-daerahnya tersendiri, namun tetap
memberikan jenis pendidikan yang sama.
Pada
tahun 1922, Mesir diberi kemerdekaan bersyarat yang diikat oleh suatu perjanjian
dengan Inggris, yaitu bahwa Inggris masih menguasai masalah-masalah luar negeri
Inggris. Seperti masalah perdagangan, masalah penguasaan sungai nil, dan
keamanan dalam negeri.
“Selain
itu,” kata Ustad Rahmat sambil memperbaiki posisi duduknya, “Masalah yang cukup
penting untuk diperhatikan juga adalah masalah parlemen Kairo yang mengambil sistem
dan hukum dari luar negeri dan menerapkannya tanpa adanya perubahan terlebih
dahulu.”
“Mesir
menelan bulat-bulat hukum dari luar negeri tersebut, Ustad?”
“Iya,
tepat sekali.”
“Lalu
apa yang dilakukan Hasan Al Banna?”
“Masya
Allah,” kata Ustad sambil melirik jam ditangannya. “Antum sangat bersemangat
sekali.”
“Ada
sebuah kata-kata dari Hasan Al Banna terkait kondisi Mesir saat itu.” Kata Ustad
dengan tetap fokus kedepan. “Saya sepenuhnya yakin bahwa bangsa ini berdasar
hukum perubahan politik yang melingkupi mereka, serta dengan munculnya revolusi
sosial yang mereka terjuni, westernisasi yang makin meluas, filsafat
materialism dan sifat membebek pada bangsa Asing akan semakin menjauhkan mereka
dari cita-cita agama, tujuan Kitab Suci, merupakan peninggalan pendahulu
mereka, dan untuk kemudian mengenakan jubbah kedzaliman dan kebodohan agama.”
Pembatasan
dan pembaratan atau yang kita kenal dengan Westernisasi mengalir dengan
kuatnya, hal tersebut dikhawatirkan para ulama. Pengaruh-pengaruh itu mengalir
ke daerah Islam yang ada dibawah kendali Inggris. Kalangan ataslah yang
memonopoli semua kekuasaan politik yang terpengaruh cukup besar karena
memperoleh pendidikan berat.
Hal-hal
tersebut menjadi permulaan yang mendasari lahirnya gerakan-gerakan kebangsaan
di Mesir, dan salah satu gerakan yang muncul yaitu Ikhwanul Muslimin.
Gerakan-gerakan
yang muncul ini terbagi kepada tipe, akhi. Ada politisi-politisi professional
yang sekuler, ada dari tokoh-tokoh agama, dan ada juga tokoh-tokoh militan yang
lebih serius, mereka inilah pemeluk agama yang taat dan bercita-cita untuk
mengembalikan Islam kembali dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.”
Lanjut Ustad Rahmat.
“Apakah
Ikhwanul Muslimin termasuk tipe yang ketiga, Ustad?”
“Iya,
tepat sekali.” Jawab Ustad menutup sementara kisah tentang Ikhwanul Muslimin.
Hari
sudah menunjukan pukul 14.20. Ustad kembali menyalakan mobilnya, untuk
melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya yaitu mencari masjid lagi untuk
sholat ashar.
***
Mobil kembali melaju. Hasan menikmati perjalanannya di mobil. Ia berfikir sudah lama tak berkunjung ke Kota. Mungkin sudah 2 atau bahkan sampai 3 bulan. Ia terlalu sibuk dengan perkuliahan, organisasi, dan dakwah.
Baru
saja mobil melaju sekitar 15 menit, tiba-tiba hujan menyapu lembut bumi.
Perlahan namun pasti, hujan makin membesar. Disaat hujan seperti ini, ingin
rasanya Hasan keluar dari mobil dan merasakan hujan membelai tubuhnya. Indah. Hasan
ingin berlari ditengah hujan, berteriak serta menangisi semua kegalauan yang
sedang ia rasakan. Setidaknya jika ia menangis ditengah hujan, tak kan ada yang
tahu kalau ia sedang menangis.
Terus,
rintikan hujan yang mendarat di kaca depan mobil menjadi pemandangan yang
menarik bagi Hasan. Hujan datang dan wiper menghapusnya. Begitu terjadi
berulang-ulang. Layaknya masalah yang datang dan segera terhapuskan, jika keikhlasan dalam menerima masalah tersebut
ada pada diri yang bermasalah. Semuanya akan bisa terselesaikan, masalah
apapun.
Hasan
terus memandangi kaca tersebut, dan ternyata pandangannya tak hanya sampai di
kaca depan yang sedang di hujam hujan. Pikirannya melayang menuju sebulan
terakhir. Ia mencari-cari penyebab ia mulai melemah, meninggalkan organisasi
dan dakwah ini. Walau pun sudah bertanya ke hati kecilnya, seperti yang pernah
disarani oleh Lee, tapi ia tetap belum bisa menemukan titik permasalahannya
dimana.
Hasan
tau, cepat atau lambat Ustad akan bertanya perihal ini kepada dirinya. Dan dia
belum menyiapkan jawaban apapun. Tak mungkin Hasan menjawab seperti halnya ia
menjawab pertanyaan dari Lee dan teman-teman. Hasan semakin bingung.
“Akh,”
kata Ustad sambil menepuk pundak Hasan yang membuyarkan lamunan Hasan.
“Eh,
oh iya Ustad.” Jawab Hasan dengan gelagap
“Antum
dari tadi melamun aja, kita sudah sampai nih di masjid, mau sholat ashr dulu.”
Kata Ustad dengan penuh kelembutan
“Iya
Ustad, kita sholat dulu.”
Dalam
gerimis, Hasan dan Ustad Rahmat turun dari mobil. Berlari kecil dari parkiran
menuju pintu masjid. Hasan sangat menyukainya. Malah ia ingin tidak hanya
sekedar gerimis, namun hujan.
Usai
sholat ashar, seperti biasa Hasan mengeluarkan alqur’annya. Karena ia ingat
setelah shalat subuh tadi belum bisa melunasi hutangnya – Hutang membaca
alqur’an satu juz satu hari. Setelah selesai, ia langsung membaca dzikir Al
Ma’tsurat. Hasan membaca untuk bagian sorenya.
Setelah
satu juz Alqur’an Hasan lunasi, dzikir Al Ma’tsurat dia baca, ritual terakhir Hasan
sebelum bangkit dari shaf tempat ia sholat adalah mengeluarkan smartphone nya. Hasan
melaporkan bahwasanya dia sudah kholas membaca satu juz alqur’an dan
alma’tsurat untuk hari jumat ini.
***
Diluar
masjid hujan telah reda. Ustad Rahmat langsung menuju parkiran yang di ikuti
oleh Hasan. Sudah sore seperti ini, Hasan tetap belum tau kemana tujuan Ustad
Rahmat membawanya. Apa benar sekedar jalan-jalan? Ah, tapi aneh aja. Ustad
Rahmat kan tidak suka hal yang sia-sia. Kalau hanya sekedar jalan-jalan saja
aku rasa tidak deh. Tepis Hasan yang hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. Hasan
sudah memutuskan ikut saja, kemana pun dia dibawa sama Ustad Rahmat. Toh, Hasan
percaya Ustad tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh.
“Hari
ini kita keliling kota aja, akhi.” Kata Ustad Rahmat. “Ïnsyaallah antum akan
mendapatkan ibroh[6]
dari jalan-jalan kita hari ini.”
Jam
menunjukan pukul 16.00. dengan perlahan, matahari mulai beranjak kea rah barat.
Sudah hampir 9 jam Hasan satu mobil dengan Ustad. Ini durasi yang paling lama.
Biasanya ketemu dengan Ustad hanya di agenda halaqah, itu dengan durasi paling
lama 3 jam dan hanya 1x Seminggu. Ustad Rahmat orang yang sibuk. Semangat
dakwah dia luar biasa. Dia memiliki 7 group liqo, mengadakan pembinaan setiap
harinya. Hari ini, Ustad meluangkan waktu untuk jalan-jalan ditengah
kesibukannya. Ini luar biasa. Hasan nge-batin.
“Antum
masih ingat dengan 7 Rukun Amal? Tanya Ustad Rahmat
“Tujuh
rukun Amal?” Kata Hasan dengan penuh rensponsif. “Apa yang Ustad maksud rukun amal itu seperti
salimul akidah[7],
qawiyul jism[8]?”
Tanya Hasan sambil mencoba mengingat-ngingat tentang rukun amal.
“bukan,
akhi. Kalau yang itu namanya Muwashofat Tarbiyah, atau yang sering kita sebut
denngan 10 karakter pribadi muslim.”
“lalu,
yang mana Ustad.?” Hasan yang masih mencoba mengingat tentang arkanul bai’at.
“oke,
ana kasih clue nya ya,” Ustad mencoba
membuka ingatan Hasan kembali.
“Ada
tujuh point dari Arkanul bai’at, dan point pertamanya yaitu memperbaiki diri.” Ustad
Rahmat mencoba menjelaskan
Sejenak,
Hasan diam masih mencoba menemukan tentang arkanul bai’at di memori nya.
“Bagaimana,
sudah ingat?” Tanya Ustad
“Oh
iya, Ustad. Kalau ga salah rukun amal itu ada Memperbaiki diri sendiri,
keluarga, masyarakat, tatanan politik, hukumnya, khilafah, dan tatanan dunia
baru.” Kata Hasan dengan terbata-bata
“Shahih[9]
akhi, masyaallah.” Jawab Ustad dengan nada yang bahagia.
“Dan,
antum tahu? Kenapa di arkanul bai’at tersebut diawali dengan memperbaiki diri
sendiri?” Tanya Ustad.
“Itu
berdasarkan prinsip dari dakwah Rasulullah, Ustad. Dakwah Rasulullah dimulai
dengan memperbaiki diri sendiri, atau ibda’ binafsih.” Jawab Hasan
“Iya
benar. Dan setelah kita memperbaiki diri secara berangsur-angsur, rukun
selanjutnya yaitu membina rumah tangga yang Islam. Kita bina rumah tangga kita
berdasarkan Agama. Didik anak-anak kita dengan ilmu-ulmu agama. Pahamkan kepada
mereka bagaimana pentingnya agama dan dakwah ini.”
“setelah
itu, jika keluarga kita sudah dipahamkan, mari akhi, kita lanjut ke tatanan
masyarakat, pemerintahan dan akhirnya kita bentuk Negara Islam. Khilafah.
Itulah tujuan dari Ikhwanul Muslimin ini. Mengembalikan kejayaan Islam.” Lanjut
Ustad dengan penuh mengebu-gebu.
“Antum,
pasti tahu. Kenapa tujuan akhir dari Ikhwanul Muslimin di arkanul bai’atnya
adalah khilafah? Negara dan bahkan dunia Islam?” Tanya Ustad Rahmat.
“karena
pada saat itu, Mesir tidak lagi berdasarkan Islam.” Jawab singkat dari Hasan.
“Na’am
akhi, kejayaan Islam telah runtuh sejak berakhirnya khilafah di Turki. Inggris,
orang-orang liberal, sekuler sangat sewenang-wenang terhadap Islam. Dan inilah
cinta-cita Hasan Al Banna, cita-cita Ikhwanul Muslimin, cita-cita dakwah kita,
cita-cita ummat Islam dimana pun, kembali hidup dalam aturan Islam. Khilafah.”
Kata Ustad Rahmat penuh semangat.
Kata-kata
tersebut menggetarkan hati Hasan. Dan menumbuhkan sedikit semangat dari hati Hasan.
Ya, sedikit. Tapi itu masih proses. Setelah kata-kata tersebut, Ustad Rahmat
tidak lagi berbicara. Mungkin, iya meminta Hasan merenungi diskusi yang barusan
mereka lakukan.
***
Hari ini Hasan
mendapatkan banyak ilmu dari Ustad Rahmat. “Benar-benar perjalanan yang penuh
dengan ilmu.” Kata Hasan di dalam hatinya.
Hari
sudah gelap, tadi mereka sudah mampir di satu masjid lagi untuk sholat maghrib.
Dan sekarang Hasan dan Ustad berada disebuah warung bakso. Mereka makan malam.
“Akhi,”
kata Ustad Rahmat dengan wajah yang serius namun tetap teduh. “Antum masih
hafal dengan tabiat dakwah?”
“Ma…masih
Ustad.” Jawab Hasan dengan gugup melihat keseriusan Ustad. Ia berpikir inilah
saatnya Ustad menanyakan perihal dirinya.
“Tabiat
dakwah itu ada tiga; Perjalanannya panjang, pemikulnya sedikit, dan penuh onak
dan duri.” Kata Hasan.
“Dan,
kita adalah bagian dari yang sedikit tersebut dalam menempuh panjangnya jalan
dakwah ini.” Kata Ustad.
“Ana
mau tanya, kenapa antum futur[10]
seperti ini? Bukankah selama ini antum sangat bersemangat. Ghiroh[11]
nya tinggi dan tadhiyah[12]
antum luar biasa dijalan dakwah ini?” Tanya Ustad Rahmat yang langsung ke titik
persoalan.
Hasan
hanya mampu menundukan kepalanya. Tak mungkin ia menjawa hal yang sama seperti
apa yang ia katakana kepada Lee.
“Ana
tidak tahu Ustad dengan apa yang terjadi.” Kata Hasan melemah. “Semuanya
terjadi begitu saja, ana menjauh begitu saja, ana menghindar dari jamaah, dari
teman-teman dan juga liqo’at kita begitu saja.”
“Pasti
ada permasalahan yang menimpa antum, kan?” Tanya Ustad.
“Entahlah,
Ustad. Ana merasakan serat didalam dekapan ukhuwah[13]
ini. Semuanya sudah hambar, entah ini karena ana terlalu berharap lebih dan
ketika dikecewakan maka luka itu sangat dalam merobek hati ini.” Tutur Hasan
dengan suara yang serat pula.
“Jalan
dakwah ini tidaklah selalu mulus, akhi. Kalau mulus tentu banyak yang ingin
membersamainya. Hanya orang-orang yang kuat, yang ikhlas mampu menghadapi
gelombang dijalan dakwah ini.”
“Pun
begitu dengan Ukhuwah kita. Tidak akan selalu indah. Bisa dipastikan saudara
kita terkadang menjadi ujian buat kita. Namun, kita harus bisa menyikapinya. Jika
kita tidak bisa menyikapinya, maka kehilangan saudara seperjuangan akan sangat
mudah.” Kata Ustad yang penuh bijak, namun belum bisa menenangkan hati Hasan.
“Tapi
Ustad, ukhuwah ini sama saja seperti persaudaraan dengan yang lain, dengan yang
tanpa dilandasi iman. Mereka hanya peduli disaat kita senang, dan tak peduli
dengan kesulitan kita.” Bantah Hasan. “Mereka tak ada disaat amanah yang ana
pikul sangat berat. Mereka tidak ada Ustad, yang ada hanya kata-kata lawakan yang
penuh picisan dari mereka.” kata Hasan dengan suara yang parau.
Sangat
jarang Hasan menceritakan permasalahannya kepada siapa pun. Ia lebih baik diam
dan memendam sendiri permasalahannya. Namun, malam ini pertanyaan dari Ustad
yang to the point serta taujih dari Ustad
membuat ia tidak kuat lagi, dan meluapkan segalanya ke Ustad Rahmat.
“Antum tahu, bagaimana perjuangan Hasan Al
Banna merintis dakwah di Ikhwanul Muslimin? Dia berjuang ditengah-tengah
masyarakat yang sekuler, liberal, dan jauh dari Agama.” Kata Ustad Rahmat.
“Banyak
rintangan yang beliau hadapi. Ancaman-ancaman dari pemerintahan dan sebagainya,
namun itu tak menyurutkan langkahnya dalam berdakwah. Berkali-kali masuk
kedalam penjara. Disiksa.”
"Akhir
hayatnya pun sangat tragis, dia tewas tertembak oleh dua
orang penembak misterius yang menembakkan tujuh tembakan pada tubuhnya pada
tanggal 12 Februari 1949, di depan kantor pusat Jamiyyah al-Shubban
al-Muslimin.[14]
Itu semua demi apa dia lakukan? Demi dakwah ini akhi.”
“Demi dakwah ini, akhi.”
Ulang Ustad Rahmat dengan menekankan suaranya
“Persoalan yang dihadapi
Rasul, para sahabat, para ulama, dan termasuk Hasan Al Banna dalam dakwah ini
belum seberapa jika dibandingkan dengan persoalan kita.” Kata Ustad yang
membuat Hasan menangis.
“Dan, ana dengar antum mau
resign dari dakwah LDK, dari dakwah ini. Benarkah itu?” Tanya Ustad lembut
Dengan kepala yang menunduk, Hasan
menganggukan kepalanya. “Iya, Ustad. Rencananya seperti itu.”
“Baiklah, itu pilihan antum.
Tapi cobalah sholat istikharah terlebih dahulu. Minta petunjuk Allah.” Nasehat Ustad.
“Jika permasalahannya berada
pada ukhuwah yang antum rasakan, maka ada sebuah kalimat seorang penulis yang
bisa antum renungi,” lanjut Ustad. “Mutiara
yang bersatu di kalung perhiasan, harus rela ditusuk jarum agar benang
menyatukan. Berjama'ah mungkin melukai, tapi ia memberi arti."
“Namun, jika
antum mundur karena beratnya jalan dakwah ini, maka ingatlah akhi, ada dan
tiadanya kita dalam dakwah, dakwah ini akan terus berjalan.” Ustad mengakhiri
nasehatnya dengan senyuman.
Air mata telah
membasahi wajah Hasan. Kata-kata serta nasehat Ustad Rahmat telah membuatnya
kembali bimbang dengan keputusannya. Ia akan melakukan sholat istikharah,
bisiknya.
***
Jam sudah menunjukan pukul 21.00. Bakso sudah habis disantap,
meski kurang berselera lantaran air mata yang terlanjur keluar.
Hasan dan Ustad Rahmat kembali kemobil, bersiap untuk pulang.
Jalanan sudah mulai lengang. Didalam mobil Hasan kembali lebih banyak diam, dan
Ustad Rahmat membiarkannya.
Perjalanan hari ini telah memberikan banyak hikmah bagi
Hasan. Kisah tentang Hasan Al Banna mampu mengembalikan sepotong semangat dalam
diri Hasan. Nasehat-nasehat Ustad Rahmat telah berhasil membuatnya bimbang
dengan keputusan resign yang akan dia
ambil.
Dia harus sholat istikharah…
***