Senin, 30 Mei 2016

Mencari Hati Yang Baru

Mencari Hati Yang Baru
by. Irwanto

“Aku sudah mulai bosan dengan aktifitas yang itu-itu saja. Ingin mencari suasana yang baru.” Itulah alasan yang selalu diungkap Hasan ketika teman-teman seperjuangannya datang ke kostan dan menanyakan ketidakhadirannya disetiap agenda.

Setidaknya sudah lebih satu bulan Hasan tidak pernah lagi muncul di setiap agenda dakwah yang ada di Lembaga Dakwah Kampus nya. Jangankan untuk agenda dakwah, kumpulan rutin pun bersama kelompoknya atau yang lebih familiar dengan sebutan Liqo’ tak pernah lagi ia jambangi. Hal itu lah yang membuat teman-teman satu lingkarannya mendatangi kostannya.

Tentu saja kemundurannya Hasan menjadi pertanyaan besar dalam organisasi tersebut. Hasan yang dulunya sangat bersemangat, kritis, dan setiap hari selalu berada di base-camp dakwah, sebulan ini sudah tak tampak lagi batang hidungnya. Kalau pun bertemu dengan teman se-organisasinya, itu hanya di masjid kampus, ketika Hasan mau sholat berjamaah. Dan bahkan sekarang, Hasan tiada lagi berada di barisan terdepan dan berdampingan dengan saudara-saudara diorganisasinya dalam sholat berjamaah. Hasan lebih memilih menjauh dari shaf yang biasa ia tempati tersebut.

Disuatu sore, tiba-tiba beberapa orang temannya menjambangi kostan Hasan, mau minta penjelasan yang pasti kenapa Hasan menjadi seperti ini. “Hasan, antum[1] tahu dengan artinya amanah kan?” Tanya Lee seorang mualaf keturunan china.

Sore itu Hasan tidak mampu banyak bicara, ia lebih banyak mendengar dan menunduk. Ia bak seorang anak kecil yang disangka mengambil mangga tetangga. Ia sedang di introgasi oleh teman-temannya.

“San, coba lihat sini, dan sekali lagi jawab ya, kenapa antum jadi seperti begini? Apakah ada masalah diantara kita, atau dengan keluarga atau perkuliahan antum?” Lee kembali bertanya.

Dalam keadaan masih menunduk, Hasan kembali menjawab pertanyaan itu dengan kata yang sama, “Aku sudah mulai bosan dengan aktifitas yang itu-itu saja. Ingin mencari suasana yang baru. Itu saja.” Hasan tahu, kata-katanya penuh dengan kebohongan. Ia sendiri tak mampu membohongi hati kecil nya. Iya, ia begini karena ada beberapa masalah yang saat ini sedang di hadapinya.

Ia tak mampu menjawab pertanyaan tulus dari Lee dihadapan yang lain. Karena ia belum bisa percaya penuh terhadap dua temannya lagi yang sore itu ikut menemani Lee. Hasan hanya bisa percaya kepada Lee, bukan kepada Arif ataupun Fahri, ketua umum LDK tersebut. Dan Hasan pun tau, keikut-sertaan mereka berdua – Arif dan Fahri – kekostannya sore ini hanya sekedar formalitas belaka. Untuk menggugurkan kewajiban mereka.

Alhasil, kedatangan mereka di sore itu tak membuahkan apa-apa. Mereka yang datang untuk membujuk pun tak mampu mengajak Hasan untuk kembali aktif dilingkaran itu. Adzan magrib menyudahi silaturahmi mereka. Hasan dan yang lainnya pun keluar untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah di masjid terdekat.

***

Jam menunjukan pukul 02.30 pagi, alarm pun berbunyi untuk membangunkan Hasan tahajjud, menghambakan diri kepada-Nya. Dengan mata yang masih mengantuk, Hasan berusaha bangun, dan mematikan bunyi alarm yang sedari tadi tak berhenti berdering. Ketika mematikan alarm, tak sengaja ia melihat ada sebuah sms dari Ust. Rahmat, Murobbi[2] Hasan.

Assalamualaikum akhi[3], bagaimana kabar antum sekarang? Sudah lama kita tidak bertemu. Besok antum ada waktu, akh? Ana pengen ngajak antum jalan kesuatu tempat. Kita ketemuan di masjid kampus jam 09.00 WIB ya. Ana Uhibbuka Fillah[4].”

Pesan itu membuat Hasan termangu dalam waktu yang panjang. Hasan tahu Ustad Rahmat mengajak ketemuan pasti untuk menanyakan dirinya juga. Seperti yang dilakukan oleh teman-temannya. Dengan gugup Hasan membalas pesan singkat murobbinya dengan mengatakan “iya, Ustad.”

Hasan bangkit dari kasurnya menuju kamar mandi. Ia berwudhu’ dan melakukan sholat tahajjud. Dengan penuh kekhusyu’an Hasan pun berbicara dengan sang penguasa alam. Begitu banyak keluh kesah yang ia sampaikan, termasuk problem yang sedang dia hadapi pun dicurahkan.

Yaa muqallibul quluub, tsabbit qalbii ‘ala diinik. Wahai yang maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama Mu.”

Berulang-ulang Hasan melafalkan do’a tersebut dalam tahajjudnya. Tak terasa air matanya pun meleleh. Ia memasrahkan apapun yang terjadi kepada Ilahi, Pemilik Hati. Dia berserah diri dan terus berdo’a agar Allah memberikan jalan yang terbaik untuk permasalahannya.

Diakhir tahajjud, Hasan kembali sujud keharibaan-Nya. Begitu lama sujud yang ia lakukan. Dan isak tangis pun kembali terdengar. Jika Hasan bisa, ia tidak akan mau waktu cepat menjadi pagi. Ia hanya ingin waktu tetap berada disepertiga malam, agar ia punya banyak waktu berduaan dengan yang dicintanya. Allah SWT.

“Ya Allah, yang maha mengendalikan kehidupan manusia. Mudahkanlah kendali terhadap hidup ku. Aku masih mengharapkan bersama saudara-saudara ku berjuang dijalan dakwah ini, Ya Allah. Untuk itu kumohon, turunkan hidayah dan taufik Mu kepada ku, agar aku mampu dan selalu tegar menjalani setiap ujian demi ujian di jalan dakwah Mu ini.”

***

Assalamualaikum. Maaf Ustad, ana[5] telat. Tadi ana harus ngumpulin air dulu buat mandi.” Kata Hasan ketika sampai didekat Ustad Rahmat yang sedari tadi menunggunya. Wajar jika Hasan meminta maaf, karena ia telah membuat Ustadnya menunggu selama 45 menit. Sekarang sudah jam 09.45 WIB.

“Waalaikumsalam. Oiya, tidak apa-apa akhi. Ayo kita berangkat sekarang.” Ajak Ustad Rahmat sambil berjalan menuju mobilnya.

Setelah naik, Ustad Rahmat membawa mobilnya ke arah kota. Dalam perjalanannya Ustad hanya bicara sedikit. Mungkin ia sedang mengatur ritme untuk menanyakan perihal ketidak-aktifan aku. Duga Hasan saat itu.

“Hasan,” sapa Ustad membuyarkan lamunan ku. “Antum tahu, seorang ulama di Mesir yang sampai saat ini begitu menginspirasi bagi ana? Setelah Nabi Muhammad tentunya.” Tanya Ustad kepada Hasan.

“Siapa, Ustad? Apakah Syeikh Sayyid Qutubh, atau Syeikh Ahmad Al-sakri atau siapa Ustad. Begitu banyak ulama di Mesir yang sangat menginspirasi Ustad.”

“Iya, begitu banyak ulama di Mesir, dan semuanya sangat menginspirasi. Namun, ada satu ulama yang paling menginspirasi ana dalam jalan dakwah ini, akhi. Antum tahu pendiri Ikhwanul Muslimin?”

“Hasan Al Banna, Ustad” jawab Hasan dengan singkat.

“Iya, Syeikh Syahhid Hasan Al Banna.” Jawab Ustad dengan penuh semangat. “Antum sudah baca biografi beliau?” Tanya Ustad lagi.

“Baru sedikit, Ustad.” Jawab ku.

“Baik, coba antum ceritakan tentang Syeikh Syahhid Hasan Al Banna, semampunya aja.” Kata Ustad.
“Iya, boleh Ustad.”

***

Pagi itu pada tahun 1906, disebuah desa kecil, desa Al Mahmudiah yang terletak di provinsi Buhairah, Mesir lahirlah seorang anak dari keluarga pengarang dan ulama Al Sunnah Al Muthaharrah. Anak itu diberi nama Hasan Al Banna. Selain mengarang, ayah Hasan yang bernama Syaikh Abdurrahman juga bekerja sebagai tukang arloji, sehingga ayah Hasan kerap dipanggil As-Sa’ati atau si tukang arloji.

Hasan Al Banna terlahir dari keluarga yang berkecukupan, serta keluarga yang dikenal sebagai keluarga yang shaleh. Didalam rumahnya terdapat perpustakaan yang cukup lengkap. Ia dibebaskan oleh ayahnya membaca buku apapun diperpustakaan tersebut. Selain itu, ayahnya juga menjalankan kewajibannya sebagai orang tua yaitu membimbing Hasan dalam beragama. Hasan diajarkan sholat, membaca alqur’an, dan bahkan Hasan secara langsung dibimbing oleh ayahnya untuk menghafal alqur’an.

Hasan kecil disekolahkan oleh ayahnya pada sebuah sekolah dasar agama, Madrasah Ar-Rasyad. Disekolah ia selalu menjadi yang terbaik. Hasan anak yang pintar, itu semua berkat didikan yang diberikan sang ayah untuknya sedari ia masih bayi.

Setelah dari sekolah dasar agama di Madrasah Ar-Rasyad, Hasan pun melanjutkan pendidikannya pada salah satu SLTP yang ada di kota Mahmudiah. Ketika SLTP, ia menjadi anak yang super aktif. Hasan mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Jam’iyyatul Akhlaqil Adabiyyah yang kemudian berubah nama menjadi Jam’iyyat Manil Muharramat dengan arti Perkumpulan mencegah perbuatan-perbuatan haram.

Perkumpulan ini Hasan dirikan, karena ketika SLTP ia sudah mulai tertarik dengan cara kerja yang teratur dalam bidang keislaman, yang berhubungan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Cara-cara dakwah beliau ini sangat menarik dan kreatif. Walau terbilang masih muda tetapi ia berani dalam menerapkan system dakwah yang ia buat. Salah satunya menerapkan tata tertib dalam bentuk denda-denda kepada siswa yang mengucapkan kata-kata kotor atau yang menyalahi agama.

Dalam waktu yang sangat singkat, teman-teman beliau di SLTP mempercayakan ia menjadi pemimpin dalam organisasi kecil yang ia buat. Jam’iyyat Manil Muharramat. Perkumpulan mencegah perbuatan-perbuatan haram.

***

Lampu merah dijalan ini memang cukup lama, sekitar 5 menit sekali menyala. Namun, lampu hijau hanya menyala sebentar, tiga menit. Lima menit ini dimanfaatkan Ustad untuk meregangkan badannya sekaligus untuk minum. Diluar sana banyak pedagang asong yang memanfaatkan lampu merah, dengan menjajakan jajanannya.

“Masya allah, antum sepertinya sudah sangat mengenal Syaikh Syahid Hasan Al Banna, akhi.” Ujar Ustad Rahmat sambil mereguk minumannya. “Antum mau minum?” sekaligus tawar Ustad.

“Baru baca biografinya sampai ia SLTP Ustad, setelah itu ana belum tahu lagi bagaimana dewasanya Hasan Al Banna.” jawab Hasan sambil menggelengkan kepala.

Hasan melirik jam ditangannya.

“Udah jam 10.20 Ustad, sebentar lagi jumatan. Kalau boleh tahu kita mau kemana ya Ustad?”

“Sekarang kita mau ke masjid yang ada di pusat kota dulu. Kalau gak salah jumatan ini yang khutbahnya kyai dari Jombang, Jawa Timur.” Jawab Ustad Rahmat.

“Oh iya Ustad boleh.”

Perlahan mobil kembali melaju, dengan tujuan yaitu Masjid Agung yang ada dikota.

“Akhi, masih adakah bagian yang belum antum ceritakan tentang Syeikh Syahid Hasan Al Banna?” kata Ustad.

Dengan memenjamkan mata sambil berfikir Hasan pun mencoba mengingat sejarah tentang Hasan Al Banna yang sudah ia baca tapi belum diceritakan.

“Oh, ada Ustad.”

Ketika masih SLTP, yang sejatinya pendidikan yang masih sangat rendah, dan masa-masanya bermain, Hasan Al Banna memilih menyibukan diri dengan menuntut ilmu agama. Hasan mulai rajin menghadiri setiap majelis, salah satunya majelis zikir.

Majelis zikir yang sering dihadiri oleh Hasan sang remaja tanggung ini yaitu majelis zikir yang diadakan oleh Ikhwah Al-Hasafiyyah. Majelis zikir perkumpulan orang-orang sufi. Disini Hasan merasakan kedamaian yang berbeda, jiwanya hanyut dalam zikrullah wa zikrumaut (Mengingat Allah dan mengingat mati). Jiwa Hasan selalu luluh jika berada dalam majelis zikir ini.

Tidak hanya mendapatkan ketenangan hati disini. Hasan pun memperoleh teman-teman baru yang memiliki wajah sendu. Wajah yang ketika melihatnya, seakan melihat syurga. Penuh kenyamanan. Teman-teman yang ahli zikir ini pun ternyata seorang yang militan, salah satunya Ahmad As-sakri, yang disatu episode akan menemani Hasan Al Banna dalam Ikhwanul Muslimin dan menjalankan peran yang sangat penting didalamnya.

Saat di SLTP atau sekitar umur 13 Tahun pun Hasan Al Banna telah menyaksikan pemberontakan-pemberontakan di Mesir terhadap Inggris yang dipimpin oleh Nasionalis-nasionalis di Mesir. Waktu itu, Hasan berkeyakinan bahwa mengabdi kepada Negara adalah Jihad yang difardhukan.

Pada tahun 1922, Hasan beranjak remaja. Berumur 16 Tahun, beliau diterima diperkumpulan Jama’at al-Safiyyah, yang sebelumnya bernama Al-Ikhwan Al-Safiyyah. Diperkumpulan ini pemikiran Hasan Al Banna sangat berpengaruh pada ajaran Al-Ghozali, sebab perkumpulan ini merupakan jamaah yang lebih condong ke arah sufi. Yang memiliki dua tujuan utama, yaitu berjuang untuk memelihara prinsip-prinsip akhlak islam dan menentang dakwah Kristen di Bandar Kahira.

Tidak lama setelah itu, Hasan Al Banna lulus dari SLTP di kota Mahmudiah dan melanjutkan pendidikan di Universitas Darul Ulum, Kairo. Ia menjadi remaja yang makin hebat. Ia lulus pada tahun 1927, dengan menyadang predikat cumlaude. Beberapa bulan setelah kelulusan nya, pada September 1927, Hasan yang sudah menjadi pemuda gagah ini diangkat menjadi guru SD di kota Islamiah yang terletak di Terusan Suez.

“Insyaallah, sudah cukup Ustad. Dari ana kisah Hasan Al Banna.” Kata Hasan mengakhiri ceritanya.

“Allahuakbar…!!!” pekik Ustad Rahmat. “Hasan Al Banna, seorang pemuda yang luar biasa. Pecinta ilmu. Semangatnya selalu tinggi.” Lanjut Ustad Rahmat.

“Lalu bagaimana dengan Hasan yang berada disamping ana ini?” Tanya Ustad sambil tersenyum.
Hasan hanya terdiam begitu saja, ia tahu maksud Ustad. Ustad Rahmat menyindirnya. Namun Hasan mencoba tersenyum.

“Ayo, bersiap-siap untuk turun.” Kata Ustad Rahmat ketika mobil telah memasuki basement.

“Iya Ustad.”

***

Usai sholat jumat, Hasan dan Ustad Rahmat makan siang disalah satu warung yang berada di kantin masjid. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya.

Jalanan siang itu sangat macet. Mobil hanya bisa berjalan dengan sangat perlahan. Padahal ini jam 14.00 Wib. Jam kerja. Tapi kemacetan terjadi. Apakah kota ini akan menyamai Ibu Kota dalam hal kemacetan? Tidak tentu pagi, siang, ataupun sore. Macet selalu melanda ibu kota.

Didalam mobil yang ber-AC, Hasan lebih banyak diam. Hanya berbicara jika ditanya oleh Ustad Rahmat. Matanya seringkali tertuju kepada satu arah, keluar jendela mobil. Tidak berkedip. Ini bukanlah Hasan yang biasa dikenal oleh Ustad Rahmat. Hasan yang dikenal oleh Ustad sangatlah periang, cerewet, dan penuh semangat. 

Ustad menduga kalau Hasan lagi ada masalah. Tidak seperti biasanya. Batin Ustad. Dengan bijak, Ustad tidak akan menanyakan langsung masalah apa yang sedang dihadapi oleh Hasan. Tapi dengan perlahan. Karena tampak, Hasan sangat tertutup untuk masalah ini.

“Ustad, sebenarnya kita mau kemana stad?” suara Hasan memecahkan keheningan yang terjadi didalam mobil.

“Antum inginnya kemana?” Tanya balik dari Ustad.

“Loh, kok nanya balik Ustad. Kan, Ustad yang ngajak.” Jawab Hasan sambil tersenyum.

“Yaudah, hari ini kita keliling kota saja. Ya walaupun macet setidaknya kita masih punya banyak waktu untuk hari ini.”

“Iya, baik Ustad.”

Setelah percakapan tentang tujuan mereka, Hasan kembali larut dalam diamnya. Dia tidak tau, apa yang harus di obrolkan bersama Ustad Rahmat. Mau ngobrol tentang dakwah, ia tidak bersemangat. Membicarakan tentang organisasi? Ia kan sudah sebulan tidak ada. Tentang olahraga? Hasan hanya suka jogging. Cuma itu. Tidak ada pembaHasan yang menarik tentang jogging. Lalu apa? Ia lebih banyak memperhatikan pedagang asongan yang hilir mudik menawarkan dagangannya ditengah kemacetan.

“Akhi, tau sejarah, latar belakang berdirinya Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh Hasan Al Banna?” Tanya Ustad.

“Tidak, Ustad.”

“baiklah, ana ceritakan sedikit tentang sejarah latar belakang berdirinya Ikhwanul Muslimin.”

Ikhwanul Muslimin (Yang disingkat IM), atau dalam bahasa Indonesia berarti Saudara –saudara sesama muslim. IM merupakan organisasi Islam yang didirikan langsung oleh Hasan Al Banna pada bulan Maret 1928 di Mesir, atau lebih tepatnya di kota Islamiyah.

Gerakan dakwah IM ini bertujuan untuk mengembalikan umat islam pada pemahaman dan amaliah yang benar terhadap Islam. Seperti yang kita ketahui, situasi Mesir pada waktu berdirinya IM sangatlah menyedihkan. Waktu itu, kira-kira setelah empat sampai lima tahun keruntuhan khilafah Imperium Turki Utsmani.

Inggris sangat berkuasa. Inggris merebut Negara-negara Islam sehingga pecah berkeping-keping. Kekhilafahan di Turki sebagai manifestasi tertinggi masyarakat dibawah nauangan panji-panji aqidah islamiyah hancur  berantakan. Tak tersisa. Kebiasaan barat atau asing mulai menguasai kehidupan orang islam, terutama para pelajar.

Ustad Rahmat membelokan mobilnya di pom bensin, dan setelah mengisi bensin Ia tidak langsung melanjutkan perjalanan, namun istirahat sejenak untuk melanjutkan ceritanya.

“Banyak sekali kebiasaan barat yang mempengaruhi umat Islam", kata Ustad Rahmat sambil mengusap matanya.

Sendi-sendi Islam yang murni perlahan mulai luntur. Pemahaman-pemahaman yang lurus berganti menjadi pemahaman yang liberal dan sekuler. Semua penyimpangan dan kebathilan yang terjadi mereka susun secara terencana dan terorganisasi untuk ditularkan, baik dengan cara paksa kepada kehidupan umat islam diseluruh dunia.

Negara Mesir yang berada dibawah penjajahan Inggris banyak mengirimkan pemuda-pemuda Islam untuk menuntut ilmu di Barat, baik teknologi, sosial, bahkan mempelajari Islam itu sendiri. Mereka yang menuntut ilmu ini kemudian lahir menjadi pemimpin-pemimpin Mesir yang sekuler dimasa kemerdekaan.

Sebelum gerakan IM lahir, Khalifah masih dianggap tinggi dalam Islam yang mempunyai peranan untuk menyatukan negara-negara Islam diseluruh dunia. Gema Pan Islam dari dunia Arab waktu itu cukup besar di Mesir dan menimbulkan goncangan politik. Masyarakat banyak yang protes terhadap pembekuan politik ini, kejatuhan moral para penguasa.

“Jadi, Inggris waktu itu benar-benar menguasai Mesir, Ustad?” Tanya Hasan dengan penuh antusias

“Iya, sejak tahun 1880 Inggris menduduki Mesir, ketika itu Mesir telah memiliki sejumlah sekolah modern dan lebih dari 5000 sekolah tradisional. Pada tahun 1883, inggris pun mewajibkan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar disekolahan. Mulai dari sekolah dasar.

Sistem pendidikan seluruhnya diserahkan pada missionaris katolik Romawi, Pebyistarian dan Angikar. Mereka mempunyai daerah-daerahnya tersendiri, namun tetap memberikan jenis pendidikan yang sama.

Pada tahun 1922, Mesir diberi kemerdekaan bersyarat yang diikat oleh suatu perjanjian dengan Inggris, yaitu bahwa Inggris masih menguasai masalah-masalah luar negeri Inggris. Seperti masalah perdagangan, masalah penguasaan sungai nil, dan keamanan dalam negeri.

“Selain itu,” kata Ustad Rahmat sambil memperbaiki posisi duduknya, “Masalah yang cukup penting untuk diperhatikan juga adalah masalah parlemen Kairo yang mengambil sistem dan hukum dari luar negeri dan menerapkannya tanpa adanya perubahan terlebih dahulu.”

“Mesir menelan bulat-bulat hukum dari luar negeri tersebut, Ustad?”

“Iya, tepat sekali.”

“Lalu apa yang dilakukan Hasan Al Banna?”

“Masya Allah,” kata Ustad sambil melirik jam ditangannya. “Antum sangat bersemangat sekali.”

“Ada sebuah kata-kata dari Hasan Al Banna terkait kondisi Mesir saat itu.” Kata Ustad dengan tetap fokus kedepan. “Saya sepenuhnya yakin bahwa bangsa ini berdasar hukum perubahan politik yang melingkupi mereka, serta dengan munculnya revolusi sosial yang mereka terjuni, westernisasi yang makin meluas, filsafat materialism dan sifat membebek pada bangsa Asing akan semakin menjauhkan mereka dari cita-cita agama, tujuan Kitab Suci, merupakan peninggalan pendahulu mereka, dan untuk kemudian mengenakan jubbah kedzaliman dan kebodohan agama.”

Pembatasan dan pembaratan atau yang kita kenal dengan Westernisasi mengalir dengan kuatnya, hal tersebut dikhawatirkan para ulama. Pengaruh-pengaruh itu mengalir ke daerah Islam yang ada dibawah kendali Inggris. Kalangan ataslah yang memonopoli semua kekuasaan politik yang terpengaruh cukup besar karena memperoleh pendidikan berat.

Hal-hal tersebut menjadi permulaan yang mendasari lahirnya gerakan-gerakan kebangsaan di Mesir, dan salah satu gerakan yang muncul yaitu Ikhwanul Muslimin.

Gerakan-gerakan yang muncul ini terbagi kepada tipe, akhi. Ada politisi-politisi professional yang sekuler, ada dari tokoh-tokoh agama, dan ada juga tokoh-tokoh militan yang lebih serius, mereka inilah pemeluk agama yang taat dan bercita-cita untuk mengembalikan Islam kembali dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.” Lanjut Ustad Rahmat.

“Apakah Ikhwanul Muslimin termasuk tipe yang ketiga, Ustad?”

“Iya, tepat sekali.” Jawab Ustad menutup sementara kisah tentang Ikhwanul Muslimin.

Hari sudah menunjukan pukul 14.20. Ustad kembali menyalakan mobilnya, untuk melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya yaitu mencari masjid lagi untuk sholat ashar.

***

Mobil kembali melaju. Hasan menikmati perjalanannya di mobil. Ia berfikir sudah lama tak berkunjung ke Kota. Mungkin sudah 2 atau bahkan sampai 3 bulan. Ia terlalu sibuk dengan perkuliahan, organisasi, dan dakwah.

Baru saja mobil melaju sekitar 15 menit, tiba-tiba hujan menyapu lembut bumi. Perlahan namun pasti, hujan makin membesar. Disaat hujan seperti ini, ingin rasanya Hasan keluar dari mobil dan merasakan hujan membelai tubuhnya. Indah. Hasan ingin berlari ditengah hujan, berteriak serta menangisi semua kegalauan yang sedang ia rasakan. Setidaknya jika ia menangis ditengah hujan, tak kan ada yang tahu kalau ia sedang menangis.

Terus, rintikan hujan yang mendarat di kaca depan mobil menjadi pemandangan yang menarik bagi Hasan. Hujan datang dan wiper menghapusnya. Begitu terjadi berulang-ulang. Layaknya masalah yang datang dan segera terhapuskan, jika  keikhlasan dalam menerima masalah tersebut ada pada diri yang bermasalah. Semuanya akan bisa terselesaikan, masalah apapun.

Hasan terus memandangi kaca tersebut, dan ternyata pandangannya tak hanya sampai di kaca depan yang sedang di hujam hujan. Pikirannya melayang menuju sebulan terakhir. Ia mencari-cari penyebab ia mulai melemah, meninggalkan organisasi dan dakwah ini. Walau pun sudah bertanya ke hati kecilnya, seperti yang pernah disarani oleh Lee, tapi ia tetap belum bisa menemukan titik permasalahannya dimana.

Hasan tau, cepat atau lambat Ustad akan bertanya perihal ini kepada dirinya. Dan dia belum menyiapkan jawaban apapun. Tak mungkin Hasan menjawab seperti halnya ia menjawab pertanyaan dari Lee dan teman-teman. Hasan semakin bingung.

“Akh,” kata Ustad sambil menepuk pundak Hasan yang membuyarkan lamunan Hasan.

“Eh, oh iya Ustad.” Jawab Hasan dengan gelagap

“Antum dari tadi melamun aja, kita sudah sampai nih di masjid, mau sholat ashr dulu.” Kata Ustad dengan penuh kelembutan

“Iya Ustad, kita sholat dulu.”

Dalam gerimis, Hasan dan Ustad Rahmat turun dari mobil. Berlari kecil dari parkiran menuju pintu masjid. Hasan sangat menyukainya. Malah ia ingin tidak hanya sekedar gerimis, namun hujan.
Usai sholat ashar, seperti biasa Hasan mengeluarkan alqur’annya. Karena ia ingat setelah shalat subuh tadi belum bisa melunasi hutangnya – Hutang membaca alqur’an satu juz satu hari. Setelah selesai, ia langsung membaca dzikir Al Ma’tsurat. Hasan membaca untuk bagian sorenya.

Setelah satu juz Alqur’an Hasan lunasi, dzikir Al Ma’tsurat dia baca, ritual terakhir Hasan sebelum bangkit dari shaf tempat ia sholat adalah mengeluarkan smartphone nya. Hasan melaporkan bahwasanya dia sudah kholas membaca satu juz alqur’an dan alma’tsurat untuk hari jumat ini.

***

Diluar masjid hujan telah reda. Ustad Rahmat langsung menuju parkiran yang di ikuti oleh Hasan. Sudah sore seperti ini, Hasan tetap belum tau kemana tujuan Ustad Rahmat membawanya. Apa benar sekedar jalan-jalan? Ah, tapi aneh aja. Ustad Rahmat kan tidak suka hal yang sia-sia. Kalau hanya sekedar jalan-jalan saja aku rasa tidak deh. Tepis Hasan yang hatinya dipenuhi dengan tanda tanya. Hasan sudah memutuskan ikut saja, kemana pun dia dibawa sama Ustad Rahmat. Toh, Hasan percaya Ustad tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh.

“Hari ini kita keliling kota aja, akhi.” Kata Ustad Rahmat. “Ïnsyaallah antum akan mendapatkan ibroh[6] dari jalan-jalan kita hari ini.”

Jam menunjukan pukul 16.00. dengan perlahan, matahari mulai beranjak kea rah barat. Sudah hampir 9 jam Hasan satu mobil dengan Ustad. Ini durasi yang paling lama. Biasanya ketemu dengan Ustad hanya di agenda halaqah, itu dengan durasi paling lama 3 jam dan hanya 1x Seminggu. Ustad Rahmat orang yang sibuk. Semangat dakwah dia luar biasa. Dia memiliki 7 group liqo, mengadakan pembinaan setiap harinya. Hari ini, Ustad meluangkan waktu untuk jalan-jalan ditengah kesibukannya. Ini luar biasa. Hasan nge-batin.

“Antum masih ingat dengan 7 Rukun Amal? Tanya Ustad Rahmat

“Tujuh rukun Amal?” Kata Hasan dengan penuh rensponsif.  “Apa yang Ustad maksud rukun amal itu seperti salimul akidah[7], qawiyul jism[8]?” Tanya Hasan sambil mencoba mengingat-ngingat tentang rukun amal.

“bukan, akhi. Kalau yang itu namanya Muwashofat Tarbiyah, atau yang sering kita sebut denngan 10 karakter pribadi muslim.”

“lalu, yang mana Ustad.?” Hasan yang masih mencoba mengingat tentang arkanul bai’at.

“oke, ana kasih clue nya ya,” Ustad mencoba membuka ingatan Hasan kembali.

“Ada tujuh point dari Arkanul bai’at, dan point pertamanya yaitu memperbaiki diri.” Ustad Rahmat mencoba menjelaskan

Sejenak, Hasan diam masih mencoba menemukan tentang arkanul bai’at di memori nya.

“Bagaimana, sudah ingat?” Tanya Ustad

“Oh iya, Ustad. Kalau ga salah rukun amal itu ada Memperbaiki diri sendiri, keluarga, masyarakat, tatanan politik, hukumnya, khilafah, dan tatanan dunia baru.” Kata Hasan dengan terbata-bata

“Shahih[9] akhi, masyaallah.” Jawab Ustad dengan nada yang bahagia.

“Dan, antum tahu? Kenapa di arkanul bai’at tersebut diawali dengan memperbaiki diri sendiri?” Tanya Ustad.

“Itu berdasarkan prinsip dari dakwah Rasulullah, Ustad. Dakwah Rasulullah dimulai dengan memperbaiki diri sendiri, atau ibda’ binafsih.” Jawab Hasan

“Iya benar. Dan setelah kita memperbaiki diri secara berangsur-angsur, rukun selanjutnya yaitu membina rumah tangga yang Islam. Kita bina rumah tangga kita berdasarkan Agama. Didik anak-anak kita dengan ilmu-ulmu agama. Pahamkan kepada mereka bagaimana pentingnya agama dan dakwah ini.”

“setelah itu, jika keluarga kita sudah dipahamkan, mari akhi, kita lanjut ke tatanan masyarakat, pemerintahan dan akhirnya kita bentuk Negara Islam. Khilafah. Itulah tujuan dari Ikhwanul Muslimin ini. Mengembalikan kejayaan Islam.” Lanjut Ustad dengan penuh mengebu-gebu.

“Antum, pasti tahu. Kenapa tujuan akhir dari Ikhwanul Muslimin di arkanul bai’atnya adalah khilafah? Negara dan bahkan dunia Islam?” Tanya Ustad Rahmat.

“karena pada saat itu, Mesir tidak lagi berdasarkan Islam.” Jawab singkat dari Hasan.

“Na’am akhi, kejayaan Islam telah runtuh sejak berakhirnya khilafah di Turki. Inggris, orang-orang liberal, sekuler sangat sewenang-wenang terhadap Islam. Dan inilah cinta-cita Hasan Al Banna, cita-cita Ikhwanul Muslimin, cita-cita dakwah kita, cita-cita ummat Islam dimana pun, kembali hidup dalam aturan Islam. Khilafah.” Kata Ustad Rahmat penuh semangat.

Kata-kata tersebut menggetarkan hati Hasan. Dan menumbuhkan sedikit semangat dari hati Hasan. Ya, sedikit. Tapi itu masih proses. Setelah kata-kata tersebut, Ustad Rahmat tidak lagi berbicara. Mungkin, iya meminta Hasan merenungi diskusi yang barusan mereka lakukan.

***

Hari ini Hasan mendapatkan banyak ilmu dari Ustad Rahmat. “Benar-benar perjalanan yang penuh dengan ilmu.” Kata Hasan di dalam hatinya.

Hari sudah gelap, tadi mereka sudah mampir di satu masjid lagi untuk sholat maghrib. Dan sekarang Hasan dan Ustad berada disebuah warung bakso. Mereka makan malam.

“Akhi,” kata Ustad Rahmat dengan wajah yang serius namun tetap teduh. “Antum masih hafal dengan tabiat dakwah?”

“Ma…masih Ustad.” Jawab Hasan dengan gugup melihat keseriusan Ustad. Ia berpikir inilah saatnya Ustad menanyakan perihal dirinya.

“Tabiat dakwah itu ada tiga; Perjalanannya panjang, pemikulnya sedikit, dan penuh onak dan duri.” Kata Hasan.

“Dan, kita adalah bagian dari yang sedikit tersebut dalam menempuh panjangnya jalan dakwah ini.” Kata Ustad.

“Ana mau tanya, kenapa antum futur[10] seperti ini? Bukankah selama ini antum sangat bersemangat. Ghiroh[11] nya tinggi dan tadhiyah[12] antum luar biasa dijalan dakwah ini?” Tanya Ustad Rahmat yang langsung ke titik persoalan.

Hasan hanya mampu menundukan kepalanya. Tak mungkin ia menjawa hal yang sama seperti apa yang ia katakana kepada Lee.

“Ana tidak tahu Ustad dengan apa yang terjadi.” Kata Hasan melemah. “Semuanya terjadi begitu saja, ana menjauh begitu saja, ana menghindar dari jamaah, dari teman-teman dan juga liqo’at kita begitu saja.”

“Pasti ada permasalahan yang menimpa antum, kan?” Tanya Ustad.

“Entahlah, Ustad. Ana merasakan serat didalam dekapan ukhuwah[13] ini. Semuanya sudah hambar, entah ini karena ana terlalu berharap lebih dan ketika dikecewakan maka luka itu sangat dalam merobek hati ini.” Tutur Hasan dengan suara yang serat pula.

“Jalan dakwah ini tidaklah selalu mulus, akhi. Kalau mulus tentu banyak yang ingin membersamainya. Hanya orang-orang yang kuat, yang ikhlas mampu menghadapi gelombang dijalan dakwah ini.”

“Pun begitu dengan Ukhuwah kita. Tidak akan selalu indah. Bisa dipastikan saudara kita terkadang menjadi ujian buat kita. Namun, kita harus bisa menyikapinya. Jika kita tidak bisa menyikapinya, maka kehilangan saudara seperjuangan akan sangat mudah.” Kata Ustad yang penuh bijak, namun belum bisa menenangkan hati Hasan.

“Tapi Ustad, ukhuwah ini sama saja seperti persaudaraan dengan yang lain, dengan yang tanpa dilandasi iman. Mereka hanya peduli disaat kita senang, dan tak peduli dengan kesulitan kita.” Bantah Hasan. “Mereka tak ada disaat amanah yang ana pikul sangat berat. Mereka tidak ada Ustad, yang ada hanya kata-kata lawakan yang penuh picisan dari mereka.” kata Hasan dengan suara yang parau.

Sangat jarang Hasan menceritakan permasalahannya kepada siapa pun. Ia lebih baik diam dan memendam sendiri permasalahannya. Namun, malam ini pertanyaan dari Ustad yang to the point serta taujih dari Ustad membuat ia tidak kuat lagi, dan meluapkan segalanya ke Ustad Rahmat.

 “Antum tahu, bagaimana perjuangan Hasan Al Banna merintis dakwah di Ikhwanul Muslimin? Dia berjuang ditengah-tengah masyarakat yang sekuler, liberal, dan jauh dari Agama.” Kata Ustad Rahmat.

“Banyak rintangan yang beliau hadapi. Ancaman-ancaman dari pemerintahan dan sebagainya, namun itu tak menyurutkan langkahnya dalam berdakwah. Berkali-kali masuk kedalam penjara. Disiksa.”

"Akhir hayatnya pun sangat tragis, dia tewas tertembak oleh dua orang penembak misterius yang menembakkan tujuh tembakan pada tubuhnya pada tanggal 12 Februari 1949, di depan kantor pusat Jamiyyah al-Shubban al-Muslimin.[14] Itu semua demi apa dia lakukan? Demi dakwah ini akhi.”

“Demi dakwah ini, akhi.” Ulang Ustad Rahmat dengan menekankan suaranya

“Persoalan yang dihadapi Rasul, para sahabat, para ulama, dan termasuk Hasan Al Banna dalam dakwah ini belum seberapa jika dibandingkan dengan persoalan kita.” Kata Ustad yang membuat Hasan menangis.

“Dan, ana dengar antum mau resign dari dakwah LDK, dari dakwah ini. Benarkah itu?” Tanya Ustad lembut

Dengan kepala yang menunduk, Hasan menganggukan kepalanya. “Iya, Ustad. Rencananya seperti itu.”

“Baiklah, itu pilihan antum. Tapi cobalah sholat istikharah terlebih dahulu. Minta petunjuk Allah.” Nasehat Ustad.

“Jika permasalahannya berada pada ukhuwah yang antum rasakan, maka ada sebuah kalimat seorang penulis yang bisa antum renungi,” lanjut Ustad. “Mutiara yang bersatu di kalung perhiasan, harus rela ditusuk jarum agar benang menyatukan. Berjama'ah mungkin melukai, tapi ia memberi arti." 

“Namun, jika antum mundur karena beratnya jalan dakwah ini, maka ingatlah akhi, ada dan tiadanya kita dalam dakwah, dakwah ini akan terus berjalan.” Ustad mengakhiri nasehatnya dengan senyuman.
Air mata telah membasahi wajah Hasan. Kata-kata serta nasehat Ustad Rahmat telah membuatnya kembali bimbang dengan keputusannya. Ia akan melakukan sholat istikharah, bisiknya.

***

Jam sudah menunjukan pukul 21.00. Bakso sudah habis disantap, meski kurang berselera lantaran air mata yang terlanjur keluar.

Hasan dan Ustad Rahmat kembali kemobil, bersiap untuk pulang. Jalanan sudah mulai lengang. Didalam mobil Hasan kembali lebih banyak diam, dan Ustad Rahmat membiarkannya.

Perjalanan hari ini telah memberikan banyak hikmah bagi Hasan. Kisah tentang Hasan Al Banna mampu mengembalikan sepotong semangat dalam diri Hasan. Nasehat-nasehat Ustad Rahmat telah berhasil membuatnya bimbang dengan keputusan resign yang akan dia ambil.

Dia harus sholat istikharah… 
***



[1] Kamu
[2] Guru
[3] Saudaraku
[4] Aku mencintaimu karena Allah
[5] Saya, aku
[6] Pelajaran
[7] Akidah yang lurus (Bagian dari muwashofat tarbiyah)
[8] Tubuh yang kuat
[9] Benar
[10] Melemahnya semangat dalam beribadah
[11] Semangat
[12] Pengorbanan
[13] persaudaraan

Minggu, 22 Mei 2016

Tantangan Dakwah di Negeri Minoritas dalam Film "Aisyah Biarkan Kami Bersaudara"

Tantangan Dakwah di Negeri Minoritas dalam Film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara

Aisyah Biarkan Kami Bersaudara, sebuah film besutan sutradara Herwin Novrianto yang rilis pada hari kamis, 19 Mei 2016 masih kalah pamor dengan film Ada Apa Dengan Cinta yang digawangi oleh Riri Riza yang telah beredar dibioskop sejak 28 April 2016 yang lalu. Film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara ini berkisah tentang seorang perempuan yang sangat ayu, bernama Aisyah (Diperankan oleh Laudya Chyntia Bella) yang berasal dari tanah sunda. Aisyah bercita-cita menjadi seorang guru, dan ketika kesempatan menjadi guru itu datang, ia ditempatkan ke pelosok daerah, yaitu di Dusun Derok, Kabupaten Timur Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi penempatan yang begitu jauh ini membuat ia dan ibunya sedikit mengalami perbedaan pendapat, karena ibunya menolak kalau Aisyah ditempatkan disana. Akan tetapi begitu besarnya niat dan tekadnya, membuat Aisyah memutuskan untuk tetap berangkat ke NTT.
Pertama menginjakan kaki di tanah timur, Aisyah merasa sangat asing. Apalagi setelah sampai di Dusun Derok dia dipanggil oleh kepala suku sebagai Suster Maria, lantaran dia memakai kerudung sama seperti Suster Maria/Bunda Maria. Dusun Derok, dengan penduduk beragama Kristen ini awalnya menginginkan Suster Maria-lah yang menjadi guru, namun Suster Maria dibisa datang karena beberapa hal.
Tempat mengajar yang diperoleh Aisyah memang sangatlah terpencil. Sangat jauh dari kota kecamatan. Tanpa listrik, air bersih yang cukup sulit didapatkan, tidak adanya sinyal seluler, dan lebih lagi sekolah tempat ia mengajar yang jaraknya cukup jauh dari penginapan. Inilah tantangan awal yang harus diterima serta dihadapi oleh Aisyah.
Selain itu, persoalan yang harus Aisyah hadapi adalah kebencian salah satu muridnya yang bernama Lordis Defam. Lordis membenci Aisyah, guru baru tersebut karena Aisyah beragama Islam. Lordis menganggap Aisyah akan menghancurkan mereka, khususnya Agama yang telah mereka anut. Kebencian terhadap Islam yang tertanam dalam hati Lordis lantaran ia di doktrin oleh pamannya tentang pemahaman bahwa Islam itu suka perang, benci terhadap agama lain, dan biang kerusuhan. Pada konflik inilah, judul dari film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara tersebut muncul. Lordis menganggap Aisyah, gurunya yang beragama Islam tersebut akan memisahkan ia dengan semuanya. Kebencian Lordis bisa diatasi oleh Aisyah, meski membutuhkan waktu yang cukup lama.
Tantangan lain yang dihadapi oleh Aisyah yaitu saat di bulan ramadhan ia harus menjalani ibadah puasa tanpa orang tuanya, di Dusun Derok seorang diri. Bulan Ramadhan bertepatan dengan puncaknya musim panas dan minimnya pasok air bersih. Ini menjadi tantangan tersendiri oleh Aisyah. Disaat bulan Ramadhan pun, ia pernah jatuh sakit.
Tantangan demi tantangan, permasalah demi permasalahan Aisyah lewati di Dusun Derok, yang pada akhirnya ia mampu meraih hati warga sana, termasuk Lordis. Sehingga tiba waktunya perpisahan, warga Dusun Derok menangisi kepergian Aisyah dan mereka merasa kehilangan. Warga Dusun Derok banyak terbantu dengan hadirnya Aisyah disana.
Dari film tersebut, yang walaupun pada hakikatnya bertemakan tentang pendidikan, namun hikmah/pelajaran tentang dakwah pun bisa kita ambil. Begitu banyak pelajaran-pelajaran tentang berdakwah dipelosok dari kisah tersebut, diantaranya:
1.       Perkenalkan identitas agama kita.
Ketika berdakwah dipelosok, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan bangga memperkenalkan diri kita sebagai seorang muslim. Perkenalan tentang identitas agama ini tentu menjadi awal perjalanan kita, karena ini akan berhubungan “terutama” dalam perihal makanan.
Ini yang telah dilakukan oleh Aisyah, setelah siuman dari pinsannya. Warga yang bersiap menyambut Aisyah dengan jamuan makan hanya menyediakan makanan dari Babi, yang tentu dalam Islam itu haram. Aisyah memperkenalkan bahwasanya ia seorang muslim, maka hal utama yang dipikirkan oleh kepala sukunya adalah “apa yang akan dimakan oleh Aisyah?” yang akhirnya ditemukan jawaban yaitu makanan hal yang instan, mie instan.
2.      Menyentuh objek dakwah dengan akhlak.
Akhlak yang baik/mulia merupakan hal yang paling vital didalam dakwah. Seseorang akan mudah menerima dakwah yang kita sampaikan, apabila akhlak yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari adalah akhlak yang baik/mulia.
Aisyah memperlihatkan akhlak yang baik tersebut dengan murah senyum kepada siapapun, ceria, dan suka menyapa. Ini bertujuan agar warga melihat hal yang baik dari dirinya, tidak perlu ada yang ditakutkan. Itu pun yang dilakukannya kepada Lordis, murid yang membencinya. Apapun yang lordis lakukan, ia tetap menyayangi Lordis. Terlihat ketika Lordis jatuh dari ketinggian yang mengakibatkan luka parah, dan Aisyahlah yang membawanya ke rumah sakit.
3.      Berikan pengajaran yang baik (Mauizatul Hasanah)
Pengajaran yang baik yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125 merupakan salah satu metode dakwah Rasululllah. Pengajaran yang baik ini, yaitu memberikan teladan, hikmah, kepada mad’u kita (Objek dakwah). Dengan pengajaran yang baik ini objek dakwah akan bisa menerima dakwah yang kita bawa.
Ini pun dilakukan oleh Aisyah. Ia berikan pengajaran yang baik terhadap warga dan murid-muridnya. Ini bisa dilihat di beberapa scene, diantaranya:
3.1    Ketika Aisyah membawa Lordis kerumah sakit, murid-muridnya protes terhadap Aisyah. Namun Aisyah mampu memberikan nasehat untuk senantiasa menolong serta memaafkan siapapun, walaupun ia pernah menyakiti kita. Ini mudah diterima oleh murid-muridnya.
3.2    Aisyah hendak pulang ketika lebaran tetapi gajinya tidak mencukupi untuk membeli tiket pesawat. Masyarakat Dusun Derok mengumpulkan uangnya dan memberikan kepada Aisyah dengan tujuan Aisyah bisa pulang ke pulau Jawa. Dari sini terlihat, bagaimana Dusun Derok telah bisa menerima Aisyah dan menganggapnya sebagai warga Dusun Derok sendiri.
4.      Da’I jangan menjadi beban bagi orang lain tetapi ia harus menjadi peringan untuk orang yang membutuhkan.
Jika seorang da’I menjadi beban maka kehadiran da’i tersebut bisa dipertanyakan. Karena hakikatnya, seorang da’i akan menjadi penyejuk ditengah-tengah ummat, ampu menjadi problem solver, serta menjadi peringan terhadap beban-beban yang dimiliki oleh objek dakwahnya.
Ini bisa dilihat pada banyak bagian dalam film ini, diantaranya:
4.1    Aisyah yang memecahkan persoalan kurangnya pasok air bersih dengan membuat tempat penyaringan air.
4.2    Aisyah yang menolak dengan halus uang yang diberikan warga untuk ia mudik. Prinsip Aisyah adalah lebih baik ia tidak mudik dari pada harus memakan hak-hak warga tersebut.
Itulah pelajaran yang bisa kita serap dalam menghadapi dakwah di Negeri Minoritas. Selain hal diatas, yang terpenting ketika berdakwah di negeri minoritas adalah kesungguh-sungguhan dan niat yang lurus, yaitu beribadah mencari ridho Allah. Ketika niat kita sudah untuk Allah, maka Allah akan memudahkan segalanya.


Muncul Lagi

Hai Guys, Assalamualaikum. Kembali berjumpa dengan saya, Uda Ir yang sudah lama tidak pulang-pulang. Kemana dia? Fine, lupakan si ...